Kamis, 19 September 2013

TAFSIR DI INDONESIA (TENTANG Prof. Dr.Muhammad Quraish Shihab)



A.Keterangan Sedikit Tentang Quraish Shihab
Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab adalah seorang mufassir terkemuka bersekala internasional asal Indonesia setelah Buya HAMKA, Mahmud Yunus, dan lain-lain. Karya monumetalnya dibidang tafsir yang dipublikasikan dan menjadi rujukan para pengkaji al-Qur’an adalah Tafsir al-Mishbah. Buku ini ditulis Quraish di Kairo pada 18 Juni 1999
. Dari segi kemasannya, buku ini ditulis secara berseri, terdiri dari 15 volume dan telah rampung penulisannya hingga 30 juz.
               
Nama lengkapnya adalah Muhammad Quraish Shihab. Ia lahir tanggal 16 Februari 1944 di Rapang, Sulawesi Selatan.[1] Ia berasal dari keluarga keturunan Arab yang terpelajar. Ayahnya, Prof. KH. Abdurrahman Shihab adalah seorang ulama dan guru besar dalam bidang tafsir. Abdurrahman Shihab dipandang sebagai salah seorang tokoh pendidik yang memiliki reputasi baik di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan. Kontribusinya dalam bidang pendidikan terbukti dari usahanya membina dua perguruan tinggi di Ujungpandang, yaitu Universitas Muslim Indonesia (UMI), sebuah perguruan tinggi swasta terbesar di kawasan Indonesia bagian timur, dan IAIN Alauddin Ujungpandang.
Ia juga tercatat sebagai mantan rektor pada kedua perguruan tinggi tersebut: UMI 1959 – 1965 dan IAIN 1972 – 1977. Sebagai seorang yang berpikiran maju, Abdurrahman percaya bahwa pendidikan adalah merupakan agen perubahan. Sikap dan pandangannya yang demikian maju itu dapat dilihat dari latar belakang pendidikannya, yaitu Jami’atul Khair, sebuah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Murid-murid yang belajar di lembaga ini diajari tentang gagasan-gagasan pembaruan gerakan dan pemikiran Islam. Hal ini terjadi karena lembaga ini memiliki hubungan yang erat dengan sumber-sumber pembaruan di Timur Tengah seperti Hadramaut, Haramaian dan Mesir. Banyak guru-guru yang di­datangkarn ke lembaga tersebut, di antaranya Syaikh Ahmad Soorkati yang berasal dari Sudan, Afrika.
Sebagai putra dari seorang guru besar, Quraish Shihab mendapatkan motivasi awal dan benih kecintaan terhadap bidang studi tafsir dari ayahnya yang sering mengajak anak-anaknya duduk bersama. Pada saat-saat seperti inilah sang ayah menyampaikan nasihatnya yang kebanyakan berupa ayat-ayat al-Qur'an. Quraish kecil telah menjalani pergumulan dan kecintaan terhadap al-Qur’an sejak umur 6-7 tahun. Ia harus mengikuti pengajian al-Qur’an yang diadakan oleh ayahnya sendiri. Selain menyuruh membaca al-Qur’an, ayahnya juga menguraikan secara sepintas kisah-kisah dalam al-Qur’an. Di sinilah, benih-benih kecintaannya kepada al-Qur’an mulai tumbuh.[2]
Pendidikan formalnya dimulai dari sekolah dasar di Ujungpandang. Setelah itu ia melanjutkan ke sekolah lanjutan tingkat pertama di kota Malang sambil “nyantri” di Pondok Pesantren Darul Hadis al-Falaqiyah di kota yang sama. Untuk mendalami studi keislamannya, Quraish Shihab dikirim oleh ayahnya ke al-Azhar, Cairo, pada tahun 1958 dan diterima di kelas dua sanawiyah. Setelah itu, ia melanjutkan studinya ke Universitas al-Azhar pada Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir dan Hadits. Pada tahun 1967 ia meraih gelar LC (setingkat sarjana S1). Dua tahun kemudian (1969), Quraish Shihab berhasil meraih gelar M.A. pada jurusan yang sama dengan tesis berjudul “al-I’jaz at-Tasryri’i al-Qur'an al-Karim (kemukjizatan al-Qur'an al-Karim dari Segi Hukum)”.
Pada tahun 1973 ia dipanggil pulang ke Ujungpandang oleh ayahnya yang ketika itu menjabat rektor, untuk membantu mengelola pendidikan di IAIN Alauddin. Ia menjadi wakil rektor bidang akademis dan kemahasiswaan sampai tahun 1980. Di samping menduduki jabatan resmi itu, ia juga sering memwakili ayahnya yang uzur karena dalam menjalankan tugas-tugas pokok tertentu. Berturut-turut setelah itu, Quraish Shihab diserahi berbagai jabatan, seperti koordinator Perguruan Tinggi Swasta Wilayah VII Indonesia bagian timur, pembantu pimpinan kepolisian Indonesia Timur dalam bidang pembinaan mental, dan sederetan jabatan lainnya di luar kampus. Di celah-celah kesibukannya ia masih sempat merampungkan beberapa tugas penelitian, antara lain Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia (1975) dan Masalah Wakaf Sulawesi Selatan (1978).
Untuk mewujudkan cita-citanya, ia mendalami studi tafsir, pada 1980 Quraish Shihab kembali menuntut ilmu ke almamaternya , al-Azhar, mengambil spesialisasi dalam studi tafsir al-Qur'an. Ia hanya memerlukan waktu dua tahun untuk meraih gelar doktor dalam bidang ini. Disertasinya yang berjudul “Nazm ad-Durar li al-Biqa’i Tahqiq wa Dirasah (Suatu Kajian terhadap Kitab Nazm ad-Durar [Rangkaian Mutiara] karya al-Biqa’i)” berhasil dipertahankannya dengan predikat summa cum laude dengan penghargaan Mumtaz Ma’a Martabah asy-Syaraf al-Ula (sarjana teladan dengan prestasi istimewa).
Tahun 1984 adalah babak baru tahap kedua bagi Quraish Shihab untuk melanjutkan kariernya. Untuk itu ia pindah tugas dari IAIN Ujung Pandang ke Fakultas Ushuluddin di IAIN Jakarta. Di sini ia aktif mengajar bidang Tafsir dan Ulum Al-Quran di Program S1, S2 dan S3 sampai tahun 1998. Di samping melaksanakan tugas pokoknya sebagai dosen, ia juga dipercaya menduduki jabatan sebagai Rektor IAIN Jakarta selama dua periode (1992-1996 dan 1997-1998). Setelah itu ia dipercaya menduduki jabatan sebagai Menteri Agama selama kurang lebih dua bulan di awal tahun 1998, hingga kemudian dia diangkat sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk negara Republik Arab Mesir merangkap negara Republik Djibauti berkedudukan di Kairo.
Kehadiran Quraish Shihab di Ibukota Jakarta telah memberikan suasana baru dan disambut hangat oleh masyarakat. Hal ini terbukti dengan adanya berbagai aktivitas yang dijalankannya di tengah-tengah masyarakat. Di samping mengajar, ia juga dipercaya untuk menduduki sejumlah jabatan. Di antaranya adalah sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (sejak 1984), anggota Lajnah Pentashhih Al-Qur'an Departemen Agama sejak 1989. Dia juga terlibat dalam beberapa organisasi profesional, antara lain Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), ketika organisasi ini didirikan. Selanjutnya ia juga tercatat sebagai Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syariah, dan Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Dapertemen Pendidikan dan Kebudayaan. Aktivitas lainnya yang ia lakukan adalah sebagai Dewan Redaksi Studia Islamika: Indonesian journal for Islamic Studies, Ulumul Qur 'an, Mimbar Ulama, dan Refleksi jurnal Kajian Agama dan Filsafat. Semua penerbitan ini berada di Jakarta.
Di samping kegiatan tersebut di atas, H.M.Quraish Shihab juga dikenal sebagai penulis dan penceramah yang handal. Berdasar pada latar belakang keilmuan yang kokoh yang ia tempuh melalui pendidikan formal serta ditopang oleh kemampuannya menyampaikan pendapat dan gagasan dengan bahasa yang sederhana, tetapi lugas, rasional, dan kecenderungan pemikiran yang moderat, ia tampil sebagai penceramah dan penulis yang bisa diterima oleh semua lapisan masyarakat. Kegiatan ceramah ini ia lakukan di sejumlah masjid bergengsi di Jakarta, seperti Masjid al-Tin dan Fathullah, di lingkungan pejabat pemerintah seperti pengajian Istiqlal serta di sejumlah stasiun televisi atau media elektronik, khususnya di.bulan Ramadhan. Beberapa stasiun televisi, seperti RCTI dan Metro TV mempunyai program khusus selama Ramadhan yang diasuh olehnya. Quraish Shihab memang bukan satu-satunya pakar al-Qur'an di Indonesia, tetapi kemampuannya menerjemahkan dan meyampaikan pesan-pesan al-Qur'an dalam konteks masa kini dan masa modern membuatnya lebih dikenal dan lebih unggul daripada pakar al-Qur'an lainnya.
Quraish Shihab adalah seorang ahli tafsir yang pendidik. Keahliannya dalam bidang tafsir tersebut untuk diabdikan dalam bidang pendidikan. Kedudukannya sebagai Pembantu Rektor, Rektor, Menteri Agama, Ketua MUI, Staf Ahli Mendikbud, Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan, menulis karya ilmiah, dan ceramah amat erat kaitannya dengan kegiatan pendidikan. Dengan kata lain bahwa ia adalah seorang ulama yang memanfaatkan keahliannya untuk mendidik umat. Hal ini ia lakukan pula melalui sikap dan kepribadiannya yang penuh dengan sikap dan sifatnya yang patut diteladani. Ia memiliki sifat-sifat sebagai guru atau pendidik yang patut diteladani. Penampilannya yang sederhana, tawadlu, sayang kepada semua orang, jujur, amanah, dan tegas dalam prinsip adalah merupakan bagian dari sikap yang seharusnya dimiliki seorang guru.[3]

B.   Karya-Karya M. Quraish Shihab
1.    Tafsir Al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujung Pandang: IAIN Alauddin, 1984)
2.    Filsafat Hukum Islam (Jakarta:Departemen Agama, 1987);
3.    Mahkota Tuntunan Ilahi (Tafsir Surat Al-Fatihah) (Jakarta:Untagma, 1988)
4.    Membumikan Al Qur'an (Bandung:Mizan, 1992) . Buku ini merupakan salah satu Best Seller yang terjual lebih dari 75 ribu kopi.
5.  Fatwa-Fatwa (Bandung:Mizan). Buku ini adalah kumpulan pertanyaan yg dijawab oleh Muhammad Quraish Shihab dan terdiri dari 5 seri : Fatwa Seputar Al Qur'an dan Hadits; Seputar Tafsir Al Qur'an; Seputar Ibadah dan Muamalah; Seputar Wawasan Agama; Seputar Ibadah Mahdhah.
6.    Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan (Republish, 2007)
7.    Lentera Al Qur'an : Kisah dan Hikmah Kehidupan (Republish, 2007)
8.    Mukjizat Al Qur'an : Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Aspek Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib (Republish, 2007)
9.    Secercah Cahaya Ilahi : Hidup Bersama Al-Quran (Republish, 2007)
10.  Wawasan Al Qur'an: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat   (Republish,2007)
11.  Tafsir Al-Misbah, tafsir Al-Qur’an lengkap 30 Juz (Jakarta: Lentera Hati,1999).[4]


C.  Seputar Tafsir Al Misbah karangan M. Quraish Shihab 
             Tafsir Al-Misbah diterbitkan pertama kali pada tahun 2000 dan disambut dengan baik oleh kaum muslim Indonesia umumnya dan peminat tafsir Al-Qur’an khususnya. Tafsir Al-Mishbah wajah baru dilengkapi dengan rujukan alqur’an dan hadis, dan dikemas dengan bahasa yang mudah dipahami serta pengemasan yang lebih menarik.
Tafsir Al-Mishbah menghimpun lebih dari 10.000 halaman yang memuat kajian tafsir Al-Qur’an yang ditulis oleh M. Quraish Shihab  ahli tafsir Al-Qur’an alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo (Mesir) pada 18 Juni 1999, di Kairo. Dengan kedalaman ilmu dan kepiawaian penulisnya dalam menjelaskan makna sebuah kosakata dan ayat Al-Qur’an, tafsir ini mendapat tempat di hati khalayak.
Tafsir ini tersaji dengan gaya bahasa penulisan yang mudah dicerna segenap kalangan, dari mulai akademisi hingga masyarakat luas. Dari segi penamaannya, Al-Mishbah berarti “lampu, pelita, atau lentera”, yang mengindikasikan makna kehidupan dan berbagai persoalan umat diterangi oleh cahaya Al-Qur’an. Penulisnya mencitakan Al-Qur’an agar semakin dan mudah dipahami.[5]
D.   Metode Penafsiran
Dalam hal penafsiran, ia cenderung menekankan pentingnya penggunaan metode tafsir maudu’i (tematik), yaitu penafsiran dengan cara menghimpun sejumlah ayat al-Qur'an yang tersebar dalam berbagai surah yang membahas masalah yang sama, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut dan selanjutnya menarik kesimpulan sebagai jawaban terhadap masalah yang menjadi pokok bahasan. Menurutnya, dengan metode ini dapat diungkapkan pendapat-pendapat al-Qur'an tentang berbagai masalah kehidupan, sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat al-Qur'an sejalan dengan perkembangan iptek dan kemajuan peradaban masyarakat.
Quraish Shihab banyak menekankan perlunya memahami wahyu Ilahi secara kontekstual dan tidak semata-mata terpaku pada makna tekstual agar pesan-pesan yang terkandung di dalamnya dapat difungsikan dalam kehidupan nyata. Ia juga banyak memotivasi mahasiswanya, khususnya di tingkat pasca sarjana, agar berani menafsirkan al-Qur'an, tetapi dengan tetap berpegang ketat pada kaidah-kaidah tafsir yang sudah dipandang baku. Menurutnya, penafsiran terhadap al-Qur'an tidak akan pernah berakhir. Dari masa ke masa selalu saja muncul penafsiran baru sejalan dengan perkembangan ilmu dan tuntutan kemajuan. Meski begitu ia tetap mengingatkan perlunya sikap teliti dan ekstra hati-hati dalam menafsirkan al-Qur'an sehingga seseorang tidak mudah mengklaim suatu pendapat sebagai pendapat al-Qur'an.[6]

E.   Corak Penafsiran
Sedang corak tafsir yang menjadi kecenderungan M. Quraish Shihab adalah corak adabi ijtima‘i, yaitu corak tafsir yang menitik beratkan penjelasan ayat al-Qur’an pada segi-segi ketelitian redaksinya, menguraikan makna dan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dengan susunan kalimat yang indah atau menarik, aksentuasi yang menonjol pada tujuan utama turunnya al-Qur’an, yaitu memberi petunjuk kepada manusia, dan penafsiran ayat al-Qur’an dikaitkan dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat.[7]

F.   Contoh Ayat
1.    Sebagai contoh adalah tentang poligami, di mana Allâh swt berfirman dalam surat an-Nisa: 3 yaitu:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ  لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا
  Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. an-Nisa’:3)[8]
Menurut Quraish, pada hakikatnya ayat ini hanya memberikan wadah bagi yang menginginkannya, ketika menghadapi kondisi atau kasus tertentu, seperti terputusnya kehendak biologis laki-laki karena wanita telah mengalami manopouse, wanita yang tidak dapat memberikan keturunan, penyakit yang ada pada diri seorang wanita, peperangan yang berkepanjangan.. Tentu saja masih banyak kondisi atau kasus selain yang disebut itu, yang juga merupakan alasan logis untuk tidak menutup rapat atau mengunci mati pintu poligami yang dibenarkan oleh ayat ini dengan syarat yang tidak ringan itu.[9]
Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat difahami bahwa pendapat Quraish tersebut menunjukkan bahwa poligami dapat dibenarkan tetapi karena syarat keadilan harus terpenuhi, dan keadilan (dalam hal cinta) hampir mustahil dapat terpenuhi sepenuhnya, maka kebolehan tersebut tidak dapat dipahami sebagai anjuran. Ia adalah pintu yang terbuka pada saat-saat tertentu. Apalagi ayat yang berbicara tentang poligami ini bukan dalam hal penekanannya pada bolehnya poligami, tetapi pada larangan berlaku aniaya terhadap anak yatim. Dan ayat ini turun ketika ada wali yang mengawini anak-anak yatim cantik dan kaya yang dipeliharanya, tetapi tidak memberikan hak-hak anak-anak yatim itu. Allâh melarang hal tersebut dan amat keras larangannya.[10]Dalam hal ini, Quraish Shihab mendukung dibukanya akses poligami ini agar tidak terjadi perselingkuhan dan prostitusi, baik dengan gadis ataupun janda.[11]
2.    Tentang Onani, dimana firman Allah surat al mukminun ayat 5-6:

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ .  إِلا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ
 dan orang-orang yang menjaga kemaluannya  kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela (6) barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas (7)[12]
Dalam hal ini para ulamâ’ banyak mengaharamkan onani. Namun dalam hal ini, Quraish mengambil pemahaman dari madzhab Ĥanafî yang kemudian di kontekskan dengan keadan saat ini. Menurut ulamâ’-ulamâ’ madzhab ini, onani pada dasarnya terlarang, tetapi ia dapat dibenarkan bila memenuhi tiga syarat. Pertama, yang bersangkutan tidak mampu kawin. Kedua, khawatir terjerumus dalam perzinaan, dan ketiga, tujuannya bukan sekedar memperoleh kelezatan. Menurut Qurasih pendapat inilah yang tepat, asal hal tersebut tidak sering dilakukan dan tidak mengakibatkan terganggunya kesehatan.[13] Dalam hal ini, ‘illah hukum yang ditekankan oleh Quraish adalah dalam hal “terganggu” baik kesehatan maupun keadaannya. Artinya, jika ‘illah itu kemudian ada pada diri seseorang, seperti terbengkalainya pekerjaan, terganggunya pelajaran, dan lain-lain, maka hukum ĥarâm onani tersemat pada dirinya.
RUJUKAN KETERANGAN
Taqiyuddin An-Nabhani. 1990. al-Nižâm al-Ijtimâ’î fî al-Islâm, (Beirut: Dâr al-Ummah)
Dewan Redaksi, 1994. Suplemen Ensiklopedi Islam, 2, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve) .
Departemen Agama RI, 2006. al-Qur’an dan Terjemahnya. (Jakarta: Pustaka Agung Harapan)
Ahmad Izzan. 2009. Metodologi Ilmu Tafsir. (Bandung: Tafakur)

Howard M. Federspiel. 1996. Kajian al-Qura’an di Indoensia: Dari Mahmaud Yunus hingga Quraish Shihab. (Bandung: Mizan)
Muhammad Quraish Shihab. 2007. Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat. (Bandung: Mizan)
Muhammad Quraish Shihab. 1999. Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,  volume 2 (Jakarta: Lentera Hati)
Muhammad Quraish Shihab. 2008. M. Qurasih Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui, (Jakarta: Lentera Hati)
http://ichwanzt.blogspot.com/2008/06/biografi-quraish-shihab.html



[1]Dewan Redaksi, Suplemen Ensiklopedi Islam, 2, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), 110-112.
[2]Howard M. Federspiel, Kajian al-Qura’an di Indoensia: Dari Mahmaud Yunus hingga Quraish Shihab (Bandung: Mizan, 1996), 295-299
 
[3]http://ichwanzt.blogspot.com/2008/06/biografi-quraish-shihab.html
[4]Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 2007), 6
  
[5]Ibid.,7-8
[6] Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Tafakur, 2009), 114
[7]Ibid, 116
[8]Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Pustaka Agung Harapan, 2006), 99-100
[9]Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,  volume 2 (Jakarta: Lentera Hati, 1999) 325
[10]Muhammad Quraish Shihab, M. Qurasih Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui, (Jakarta: Lentera Hati, 2008), 548
[11]Taqiyuddin An-Nabhani, al-Nižâm al-Ijtimâ’î fî al-Islâm, (Beirut: Dâr al-Ummah, 1990), 77-78
[12]Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Pustaka Agung Harapan, 2006)475
[13]Muhammad Quraish Shihab, M. Qurasih Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui, (Jakarta: Lentera Hati, 2008), 472

Tidak ada komentar:

Posting Komentar