A.Keterangan Sedikit Tentang Quraish Shihab
Prof.
Dr. Muhammad Quraish Shihab adalah seorang mufassir terkemuka bersekala
internasional asal Indonesia setelah Buya HAMKA, Mahmud Yunus, dan lain-lain.
Karya monumetalnya dibidang tafsir yang dipublikasikan dan menjadi rujukan para
pengkaji al-Qur’an adalah Tafsir al-Mishbah. Buku ini ditulis Quraish di Kairo
pada 18 Juni 1999
. Dari segi kemasannya, buku ini ditulis secara berseri, terdiri dari 15 volume dan telah rampung penulisannya hingga 30 juz.
. Dari segi kemasannya, buku ini ditulis secara berseri, terdiri dari 15 volume dan telah rampung penulisannya hingga 30 juz.
Nama lengkapnya adalah Muhammad Quraish Shihab. Ia lahir tanggal 16 Februari 1944 di Rapang, Sulawesi Selatan.[1] Ia berasal dari keluarga keturunan Arab yang terpelajar. Ayahnya, Prof. KH. Abdurrahman Shihab adalah seorang ulama dan guru besar dalam bidang tafsir. Abdurrahman Shihab dipandang sebagai salah seorang tokoh pendidik yang memiliki reputasi baik di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan. Kontribusinya dalam bidang pendidikan terbukti dari usahanya membina dua perguruan tinggi di Ujungpandang, yaitu Universitas Muslim Indonesia (UMI), sebuah perguruan tinggi swasta terbesar di kawasan Indonesia bagian timur, dan IAIN Alauddin Ujungpandang.
Ia juga tercatat
sebagai mantan rektor pada kedua perguruan tinggi tersebut: UMI 1959 – 1965 dan
IAIN 1972 – 1977. Sebagai seorang yang berpikiran maju, Abdurrahman percaya
bahwa pendidikan adalah merupakan agen perubahan. Sikap dan pandangannya yang
demikian maju itu dapat dilihat dari latar belakang pendidikannya, yaitu
Jami’atul Khair, sebuah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia.
Murid-murid yang belajar di lembaga ini diajari tentang gagasan-gagasan
pembaruan gerakan dan pemikiran Islam. Hal ini terjadi karena lembaga ini
memiliki hubungan yang erat dengan sumber-sumber pembaruan di Timur Tengah
seperti Hadramaut, Haramaian dan Mesir. Banyak guru-guru yang didatangkarn ke
lembaga tersebut, di antaranya Syaikh Ahmad Soorkati yang berasal dari Sudan,
Afrika.
Sebagai putra
dari seorang guru besar, Quraish Shihab mendapatkan motivasi awal dan benih
kecintaan terhadap bidang studi tafsir dari ayahnya yang sering mengajak
anak-anaknya duduk bersama. Pada saat-saat seperti inilah sang ayah
menyampaikan nasihatnya yang kebanyakan berupa ayat-ayat al-Qur'an. Quraish
kecil telah menjalani pergumulan dan kecintaan terhadap al-Qur’an sejak umur
6-7 tahun. Ia harus mengikuti pengajian al-Qur’an yang diadakan oleh ayahnya
sendiri. Selain menyuruh membaca al-Qur’an, ayahnya juga menguraikan secara
sepintas kisah-kisah dalam al-Qur’an. Di sinilah, benih-benih kecintaannya kepada
al-Qur’an mulai tumbuh.[2]
Pendidikan
formalnya dimulai dari sekolah dasar di Ujungpandang. Setelah itu ia
melanjutkan ke sekolah lanjutan tingkat pertama di kota Malang sambil “nyantri”
di Pondok Pesantren Darul Hadis al-Falaqiyah di kota yang sama. Untuk mendalami
studi keislamannya, Quraish Shihab dikirim oleh ayahnya ke al-Azhar, Cairo,
pada tahun 1958 dan diterima di kelas dua sanawiyah. Setelah itu, ia
melanjutkan studinya ke Universitas al-Azhar pada Fakultas Ushuluddin, Jurusan
Tafsir dan Hadits. Pada tahun 1967 ia meraih gelar LC (setingkat sarjana S1).
Dua tahun kemudian (1969), Quraish Shihab berhasil meraih gelar M.A. pada
jurusan yang sama dengan tesis berjudul “al-I’jaz at-Tasryri’i al-Qur'an
al-Karim (kemukjizatan al-Qur'an al-Karim dari Segi Hukum)”.
Pada tahun 1973
ia dipanggil pulang ke Ujungpandang oleh ayahnya yang ketika itu menjabat
rektor, untuk membantu mengelola pendidikan di IAIN Alauddin. Ia menjadi wakil
rektor bidang akademis dan kemahasiswaan sampai tahun 1980. Di samping menduduki
jabatan resmi itu, ia juga sering memwakili ayahnya yang uzur karena dalam
menjalankan tugas-tugas pokok tertentu. Berturut-turut setelah itu, Quraish
Shihab diserahi berbagai jabatan, seperti koordinator Perguruan Tinggi Swasta
Wilayah VII Indonesia bagian timur, pembantu pimpinan kepolisian Indonesia
Timur dalam bidang pembinaan mental, dan sederetan jabatan lainnya di luar
kampus. Di celah-celah kesibukannya ia masih sempat merampungkan beberapa tugas
penelitian, antara lain Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia (1975)
dan Masalah Wakaf Sulawesi Selatan (1978).
Untuk mewujudkan
cita-citanya, ia mendalami studi tafsir, pada 1980 Quraish Shihab kembali
menuntut ilmu ke almamaternya , al-Azhar, mengambil spesialisasi dalam studi
tafsir al-Qur'an. Ia hanya memerlukan waktu dua tahun untuk meraih gelar doktor
dalam bidang ini. Disertasinya yang berjudul “Nazm ad-Durar li al-Biqa’i Tahqiq
wa Dirasah (Suatu Kajian terhadap Kitab Nazm ad-Durar [Rangkaian Mutiara] karya
al-Biqa’i)” berhasil dipertahankannya dengan predikat summa cum laude dengan
penghargaan Mumtaz Ma’a Martabah asy-Syaraf al-Ula (sarjana teladan dengan
prestasi istimewa).
Tahun 1984
adalah babak baru tahap kedua bagi Quraish Shihab untuk melanjutkan kariernya.
Untuk itu ia pindah tugas dari IAIN Ujung Pandang ke Fakultas Ushuluddin di
IAIN Jakarta. Di sini ia aktif mengajar bidang Tafsir dan Ulum Al-Quran di
Program S1, S2 dan S3 sampai tahun 1998. Di samping melaksanakan tugas pokoknya
sebagai dosen, ia juga dipercaya menduduki jabatan sebagai Rektor IAIN Jakarta
selama dua periode (1992-1996 dan 1997-1998). Setelah itu ia dipercaya
menduduki jabatan sebagai Menteri Agama selama kurang lebih dua bulan di awal
tahun 1998, hingga kemudian dia diangkat sebagai Duta Besar Luar Biasa dan
Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk negara Republik Arab Mesir merangkap
negara Republik Djibauti berkedudukan di Kairo.
Kehadiran
Quraish Shihab di Ibukota Jakarta telah memberikan suasana baru dan disambut
hangat oleh masyarakat. Hal ini terbukti dengan adanya berbagai aktivitas yang
dijalankannya di tengah-tengah masyarakat. Di samping mengajar, ia juga
dipercaya untuk menduduki sejumlah jabatan. Di antaranya adalah sebagai Ketua
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (sejak 1984), anggota Lajnah Pentashhih
Al-Qur'an Departemen Agama sejak 1989. Dia juga terlibat dalam beberapa
organisasi profesional, antara lain Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan
Muslim se-Indonesia (ICMI), ketika organisasi ini didirikan. Selanjutnya ia
juga tercatat sebagai Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syariah, dan Pengurus
Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Dapertemen Pendidikan dan Kebudayaan. Aktivitas
lainnya yang ia lakukan adalah sebagai Dewan Redaksi Studia Islamika:
Indonesian journal for Islamic Studies, Ulumul Qur 'an, Mimbar Ulama, dan
Refleksi jurnal Kajian Agama dan Filsafat. Semua penerbitan ini berada di
Jakarta.
Di samping
kegiatan tersebut di atas, H.M.Quraish Shihab juga dikenal sebagai penulis dan
penceramah yang handal. Berdasar pada latar belakang keilmuan yang kokoh yang
ia tempuh melalui pendidikan formal serta ditopang oleh kemampuannya
menyampaikan pendapat dan gagasan dengan bahasa yang sederhana, tetapi lugas,
rasional, dan kecenderungan pemikiran yang moderat, ia tampil sebagai
penceramah dan penulis yang bisa diterima oleh semua lapisan masyarakat.
Kegiatan ceramah ini ia lakukan di sejumlah masjid bergengsi di Jakarta,
seperti Masjid al-Tin dan Fathullah, di lingkungan pejabat pemerintah seperti
pengajian Istiqlal serta di sejumlah stasiun televisi atau media elektronik,
khususnya di.bulan Ramadhan. Beberapa stasiun televisi, seperti RCTI dan Metro
TV mempunyai program khusus selama Ramadhan yang diasuh olehnya. Quraish Shihab
memang bukan satu-satunya pakar al-Qur'an di Indonesia, tetapi kemampuannya
menerjemahkan dan meyampaikan pesan-pesan al-Qur'an dalam konteks masa kini dan
masa modern membuatnya lebih dikenal dan lebih unggul daripada pakar al-Qur'an
lainnya.
Quraish Shihab
adalah seorang ahli tafsir yang pendidik. Keahliannya dalam bidang tafsir
tersebut untuk diabdikan dalam bidang pendidikan. Kedudukannya sebagai Pembantu
Rektor, Rektor, Menteri Agama, Ketua MUI, Staf Ahli Mendikbud, Anggota Badan
Pertimbangan Pendidikan, menulis karya ilmiah, dan ceramah amat erat kaitannya
dengan kegiatan pendidikan. Dengan kata lain bahwa ia adalah seorang ulama yang
memanfaatkan keahliannya untuk mendidik umat. Hal ini ia lakukan pula melalui
sikap dan kepribadiannya yang penuh dengan sikap dan sifatnya yang patut
diteladani. Ia memiliki sifat-sifat sebagai guru atau pendidik yang patut
diteladani. Penampilannya yang sederhana, tawadlu, sayang kepada semua orang,
jujur, amanah, dan tegas dalam prinsip adalah merupakan bagian dari sikap yang
seharusnya dimiliki seorang guru.[3]
B. Karya-Karya
M. Quraish Shihab
1.
Tafsir Al-Manar, Keistimewaan dan
Kelemahannya (Ujung Pandang: IAIN Alauddin, 1984)
2.
Filsafat Hukum Islam
(Jakarta:Departemen Agama, 1987);
3.
Mahkota Tuntunan Ilahi (Tafsir
Surat Al-Fatihah) (Jakarta:Untagma, 1988)
4.
Membumikan Al Qur'an
(Bandung:Mizan, 1992) . Buku ini merupakan salah satu Best Seller yang terjual
lebih dari 75 ribu kopi.
5. Fatwa-Fatwa (Bandung:Mizan). Buku
ini adalah kumpulan pertanyaan yg dijawab oleh Muhammad Quraish Shihab dan
terdiri dari 5 seri : Fatwa Seputar Al Qur'an dan Hadits; Seputar Tafsir
Al Qur'an; Seputar Ibadah dan Muamalah; Seputar Wawasan Agama; Seputar Ibadah
Mahdhah.
6.
Lentera Hati: Kisah dan Hikmah
Kehidupan (Republish, 2007)
7.
Lentera Al Qur'an : Kisah
dan Hikmah Kehidupan (Republish, 2007)
8.
Mukjizat Al Qur'an :
Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Aspek Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib (Republish,
2007)
9.
Secercah Cahaya Ilahi :
Hidup Bersama Al-Quran (Republish, 2007)
10.
Wawasan Al Qur'an: Tafsir Tematik
atas Pelbagai Persoalan Umat
(Republish,2007)
11. Tafsir Al-Misbah, tafsir Al-Qur’an lengkap 30 Juz (Jakarta: Lentera Hati,1999).[4]
C. Seputar
Tafsir Al Misbah karangan M. Quraish Shihab
Tafsir Al-Misbah diterbitkan pertama kali pada tahun 2000 dan disambut dengan baik oleh kaum muslim Indonesia umumnya dan peminat tafsir Al-Qur’an khususnya. Tafsir Al-Mishbah wajah baru dilengkapi dengan rujukan alqur’an dan hadis, dan dikemas dengan bahasa yang mudah dipahami serta pengemasan yang lebih menarik.
Tafsir Al-Misbah diterbitkan pertama kali pada tahun 2000 dan disambut dengan baik oleh kaum muslim Indonesia umumnya dan peminat tafsir Al-Qur’an khususnya. Tafsir Al-Mishbah wajah baru dilengkapi dengan rujukan alqur’an dan hadis, dan dikemas dengan bahasa yang mudah dipahami serta pengemasan yang lebih menarik.
Tafsir Al-Mishbah menghimpun lebih dari 10.000
halaman yang memuat kajian tafsir Al-Qur’an yang ditulis oleh M. Quraish Shihab
ahli tafsir Al-Qur’an alumnus Universitas
Al-Azhar, Kairo (Mesir) pada 18 Juni 1999, di Kairo. Dengan kedalaman ilmu dan
kepiawaian penulisnya dalam menjelaskan makna sebuah kosakata dan ayat
Al-Qur’an, tafsir ini mendapat tempat di hati khalayak.
Tafsir ini tersaji dengan gaya
bahasa penulisan yang mudah dicerna segenap kalangan, dari mulai akademisi
hingga masyarakat luas. Dari segi penamaannya, Al-Mishbah berarti “lampu,
pelita, atau lentera”, yang mengindikasikan makna kehidupan dan berbagai persoalan
umat diterangi oleh cahaya Al-Qur’an. Penulisnya mencitakan Al-Qur’an agar semakin dan mudah dipahami.[5]
D. Metode
Penafsiran
Dalam hal
penafsiran, ia cenderung menekankan pentingnya penggunaan metode tafsir maudu’i
(tematik), yaitu penafsiran dengan cara menghimpun sejumlah ayat al-Qur'an
yang tersebar dalam berbagai surah yang membahas masalah yang sama, kemudian
menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut dan selanjutnya
menarik kesimpulan sebagai jawaban terhadap masalah yang menjadi pokok bahasan.
Menurutnya, dengan metode ini dapat diungkapkan pendapat-pendapat al-Qur'an
tentang berbagai masalah kehidupan, sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat
al-Qur'an sejalan dengan perkembangan iptek dan kemajuan peradaban masyarakat.
Quraish Shihab
banyak menekankan perlunya memahami wahyu Ilahi secara kontekstual dan tidak
semata-mata terpaku pada makna tekstual agar pesan-pesan yang terkandung di
dalamnya dapat difungsikan dalam kehidupan nyata. Ia juga banyak memotivasi
mahasiswanya, khususnya di tingkat pasca sarjana, agar berani menafsirkan
al-Qur'an, tetapi dengan tetap berpegang ketat pada kaidah-kaidah tafsir yang
sudah dipandang baku. Menurutnya, penafsiran terhadap al-Qur'an tidak akan
pernah berakhir. Dari masa ke masa selalu saja muncul penafsiran baru sejalan
dengan perkembangan ilmu dan tuntutan kemajuan. Meski begitu ia tetap
mengingatkan perlunya sikap teliti dan ekstra hati-hati dalam menafsirkan
al-Qur'an sehingga seseorang tidak mudah mengklaim suatu pendapat sebagai
pendapat al-Qur'an.[6]
E. Corak
Penafsiran
Sedang corak
tafsir yang menjadi kecenderungan M. Quraish Shihab adalah corak adabi
ijtima‘i, yaitu corak tafsir yang menitik beratkan penjelasan ayat
al-Qur’an pada segi-segi ketelitian redaksinya, menguraikan makna dan kandungan
ayat-ayat al-Qur’an dengan susunan kalimat yang indah atau menarik, aksentuasi
yang menonjol pada tujuan utama turunnya al-Qur’an, yaitu memberi petunjuk
kepada manusia, dan penafsiran ayat al-Qur’an dikaitkan dengan hukum-hukum alam
yang berlaku dalam masyarakat.[7]
F.
Contoh
Ayat
1.
Sebagai
contoh adalah tentang poligami, di mana Allâh swt berfirman dalam surat
an-Nisa: 3 yaitu:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ
وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً
أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا
“Dan
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS.
an-Nisa’:3)[8]
Menurut Quraish,
pada hakikatnya ayat ini hanya memberikan wadah bagi yang menginginkannya,
ketika menghadapi kondisi atau kasus tertentu, seperti terputusnya kehendak
biologis laki-laki karena wanita telah mengalami manopouse, wanita yang
tidak dapat memberikan keturunan, penyakit yang ada pada diri seorang wanita,
peperangan yang berkepanjangan.. Tentu saja masih banyak kondisi atau kasus
selain yang disebut itu, yang juga merupakan alasan logis untuk tidak menutup
rapat atau mengunci mati pintu poligami yang dibenarkan oleh ayat ini dengan
syarat yang tidak ringan itu.[9]
Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat
difahami bahwa pendapat Quraish tersebut menunjukkan bahwa poligami dapat
dibenarkan tetapi karena syarat keadilan harus terpenuhi, dan keadilan (dalam
hal cinta) hampir mustahil dapat terpenuhi sepenuhnya, maka kebolehan tersebut
tidak dapat dipahami sebagai anjuran. Ia adalah pintu yang terbuka pada
saat-saat tertentu. Apalagi ayat yang berbicara tentang poligami ini bukan
dalam hal penekanannya pada bolehnya poligami, tetapi pada larangan berlaku
aniaya terhadap anak yatim. Dan ayat ini turun ketika ada wali yang mengawini
anak-anak yatim cantik dan kaya yang dipeliharanya, tetapi tidak memberikan
hak-hak anak-anak yatim itu. Allâh melarang hal tersebut dan amat keras
larangannya.[10]Dalam
hal ini, Quraish Shihab mendukung dibukanya akses poligami ini agar tidak
terjadi perselingkuhan dan prostitusi, baik dengan gadis ataupun janda.[11]
2.
Tentang
Onani, dimana firman Allah surat al mukminun ayat 5-6:
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ
حَافِظُونَ . إِلا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ
“dan orang-orang yang menjaga kemaluannya kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau
budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela
(6) barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang
yang melampaui batas (7)[12]
Dalam
hal ini para ulamâ’ banyak mengaharamkan onani. Namun dalam hal ini, Quraish
mengambil pemahaman dari madzhab Ĥanafî yang kemudian di kontekskan dengan
keadan saat ini. Menurut ulamâ’-ulamâ’ madzhab ini, onani pada dasarnya
terlarang, tetapi ia dapat dibenarkan bila memenuhi tiga syarat. Pertama,
yang bersangkutan tidak mampu kawin. Kedua, khawatir terjerumus dalam
perzinaan, dan ketiga, tujuannya bukan sekedar memperoleh kelezatan.
Menurut Qurasih pendapat inilah yang tepat, asal hal tersebut tidak sering
dilakukan dan tidak mengakibatkan terganggunya kesehatan.[13]
Dalam hal ini, ‘illah hukum yang ditekankan oleh Quraish adalah dalam
hal “terganggu” baik kesehatan maupun keadaannya. Artinya, jika ‘illah
itu kemudian ada pada diri seseorang, seperti terbengkalainya pekerjaan,
terganggunya pelajaran, dan lain-lain, maka hukum ĥarâm onani tersemat
pada dirinya.
RUJUKAN KETERANGAN
Taqiyuddin An-Nabhani. 1990. al-Nižâm al-Ijtimâ’î fî al-Islâm, (Beirut: Dâr
al-Ummah)
Dewan Redaksi, 1994. Suplemen
Ensiklopedi Islam, 2, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve) .
Departemen
Agama RI, 2006. al-Qur’an dan Terjemahnya. (Jakarta: Pustaka Agung
Harapan)
Ahmad Izzan. 2009.
Metodologi Ilmu Tafsir. (Bandung: Tafakur)
Howard M. Federspiel. 1996. Kajian
al-Qura’an di Indoensia: Dari Mahmaud Yunus hingga Quraish Shihab. (Bandung:
Mizan)
Muhammad Quraish Shihab. 2007. Wawasan
al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat. (Bandung: Mizan)
Muhammad Quraish
Shihab. 1999. Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian
al-Qur’an, volume 2 (Jakarta:
Lentera Hati)
Muhammad Quraish
Shihab. 2008. M. Qurasih Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang
Patut Anda Ketahui, (Jakarta: Lentera Hati)
http://ichwanzt.blogspot.com/2008/06/biografi-quraish-shihab.html
[1]Dewan
Redaksi, Suplemen Ensiklopedi Islam, 2, (Jakarta: PT Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1994), 110-112.
[2]Howard
M. Federspiel, Kajian al-Qura’an di Indoensia: Dari Mahmaud Yunus
hingga Quraish Shihab (Bandung: Mizan, 1996), 295-299
[3]http://ichwanzt.blogspot.com/2008/06/biografi-quraish-shihab.html
[4]Muhammad Quraish
Shihab, Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat,
(Bandung: Mizan, 2007), 6
[6] Ahmad
Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Tafakur, 2009), 114
[8]Departemen Agama RI, al-Qur’an
dan Terjemahnya, (Jakarta: Pustaka Agung Harapan, 2006), 99-100
[9]Muhammad Quraish
Shihab, Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, volume 2 (Jakarta: Lentera Hati, 1999) 325
[10]Muhammad Quraish
Shihab, M. Qurasih Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda
Ketahui, (Jakarta: Lentera Hati, 2008), 548
[11]Taqiyuddin An-Nabhani,
al-Nižâm al-Ijtimâ’î fî al-Islâm, (Beirut: Dâr al-Ummah, 1990), 77-78
[12]Departemen Agama RI, al-Qur’an
dan Terjemahnya, (Jakarta: Pustaka Agung Harapan, 2006)475
[13]Muhammad Quraish
Shihab, M. Qurasih Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda
Ketahui, (Jakarta: Lentera Hati, 2008), 472
Tidak ada komentar:
Posting Komentar