Latar
Belakang Masalah
Alquran
merupakan sumber utama kebenaran, terutama dalam menelusuri bayan Alquran itu
sendiri. Menurut Nasr Hamid bahwa tafsir
itu relatif dan akan menetapkan Alquran pada posisi yang sama dengan teks yang
lain
. Yang berarti bahwa tidak ada otoritas utama dan tidak ada kebenaran
mutlak dalam teks apapun termasuk Alquran.
Alquran itu
laksana samudra yang keajaiban dan keunikannya tidak akan sirna ditelan masa,
sehingga lahirnya bermacam-macam tafsir dengan metode yang benareka ragam pula,
sehingga banyak pendapat ulama yang beragam, juga penafsiran tersebut merupakan
hal yang sangat berguna bagi setiap manusia untuk memahami Alquran secara
Keseluruhan, baik dalam cara global, analisis dan lainsebagainya.
Dengan timbulnya penafsiran terhadap Alquran
sehingga Alquran bisa menyeimbangi zaman yang telah moderen, sehingga banyak
atau bisa kita kaji untuk permasalahan yang kita hadapi dimasa kini dan dimasa
yang akan mendatang.
A.
Sekilas
Tentang Metodologi Tafsir
Study tentang
metodologi tafsir masih terbilang baru dalam khazanah intelektual umat islam.
Ia baru dijadikan sebagai objek kajian tersendiri jauh setelah tafsir
berkembang pesat. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika metodologi tafsir
tertinggal jauh dari kajian tafsir itu sendiri.[1]
Secara historis
setiap penafsiran telah menggunakan satu atau lebih metode dalam menafsirkan
alQuran. Pilihan metode-metode tersebut tergantung kepada kecenderungan dan
sudut pandang mufassir, serta latar belakang keilmuan dan aspek-aspek lain yang
melingkupinya. Secara tegas dapat pula dikatakan, metode-metode tafsir tertentu
telah digunakan secara aplikatif oleh para penafsir itu untuk kebutuhan
penafsiran dimaksud. Hanya saja metode-metode tidak disebutkan dan dibahas
secaraeksplisit, barulah metode ini dikaji sehingga melahirkan apa yang dikenal
dengan metodologi tafsir.
B.
Pengertian
Metodologi Tafsir
Kata “metode”
berasal dari bahasa Yunani methodos yang bererti cara atau jalan. Dalam
bahasa Inggris, kata ini ditulis method, dan dalam bahasa Arab
menerjemahkannya dengan thariqat dan manhaj. Dalam bahasa
Indonesia, kata tersebut mengandung arti, “cara yang teratur dan berpikir
baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya); cara
kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai
suatu yang ditentukan.” Pengertian metode yang umum itu dapat digunakan pada
berbagai objek, baik berhubungan dengan pemikiran maupun penalaran akal, atau
menyangkut pekerjaan fisik. Jadi dapat dikatakan, metode adalah salah satu sarana yang amat
penting untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam kaitan ini, maka
studi tafsir Alquran tidak lepas dari metode, yakni suatu cara yang teratur dan
terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang
dimaksudkan Allah di dalam ayat-ayat Alquran yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW.[2]
Definisi itu
memberikan gambaran kepada kita bahwa metode tafsir Alquran tersebut berisi
seperangkat kaidah dan atuiran yang harus diindahkan ketika menafsirkan
ayat-ayat Alquran. Apabila seorang menafsirkan Alquran tampa menerapkan metode,
tidak mustahil penafsirannya akan keliru. Tafsir serupa ini disebut bi
al-ra’y al-mahdh (tafsir berdasarkan pemkiran semata) yang dilarang oleh
Nabi, bahkan Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa penafsiran serupa itu haram.[3]
Adapun
metodologi tafsir ialah ilmu tentang metode menafsirkan Alquran. Dengan
demikian, kita dapat membedakan antara dua istilah itu, yakni: metode tafsir,
cara-cara menafsirkan Alquran; sementara metode tafsir, ilmu tentang cara
tersebut. Pembahasan teoritis dan ilmiah mengenai metode mukorin
(perbandingan), misalnya, disebut analisis metodologi; sedangkan jika
pembahasan itu berkaitan dengan cara penerapan metode itu terhadapa ayat-ayat
Alquran, ini disebut pembahasan metodik. Sedangkan cara menyajikan atau
memformulasikan tafsir tersebut dinamakan teknik atau seni penafsiran. Jadi,
metode tafsir merupakan kerangka atau kaidah yang digunakan dalam menafsirkan
ayat-ayat Alquran; dan seni atau teknis ialah cara yang dipakai ketika
menerapkan kaidah yang telah tertuang di dalam metode; sedangkan metodologi
tafsir ialah pembahasan ilmiah tentang metode-metode penafsiran Alquran.[4]
C.
Sejarah
Perkembangan Metodologi Tafsir
Sejarah
mencatat, penafsiran alQuran telah tumbuh dan berkembang sejak masa-masa awal
pertumbuhan dan perkembangan islam. Hal ini didukung oleh adanya fakta sejarah
yang menyebutkan bahwa Nabi pernah melakukannya. Pada saat sahabat beliau tidak
memahami maksud dan kandungan salah satu isi kitab suci alQuran, mereka
menanyakan kepada Nabi. Dalam kontek ini Nabi memang berposisi sebagai Mubayyin,
penjelas terhadap persoalan ummat. Penafsiran-penafsiran yang dilakukan Nabi
memiliki sifat-sifat dan krakteristik tertentu, diantaranya penegasan makna,
perincian makana, peluasan dan penyempitan makana, kualifikasi makana dan
pemberian contoh. Sedangkan dari segi motifnya, penafsiran Nabi. Terhadap
ayat-ayat alQuran mempunyai tujuan-tujuan, pengarahan, peragaan, pembetulan,
atau koreksi.
Jika ditelusuri
perkembangan tafsir Alquran sejak dulu sampai sekarang, akan ditemukan bahwa
dalam garis besarnya penafsiran Alquran itu dilakukan melalui empat cara
(metode), yaitu Ijmali (global), Tahlili (analisis), Muqarin
(perbandingan), dan Maudhu’iy (tematik).
Para ulama juga
telah menulis dan mempersembahkan karya-karya mereka di bidang tafsir ini, dan
menjelaskan metode-metode yang digunakan oleh masing-masing tokoh penafsir.
Metode-metode tafsir yang dimaksud adalah metode tahlili, metode ijmali,
metode muqorin, dan metode maudhu’iy.[5]
Nabi dan para
sahabat menafsirkan Alquran secara ijmali, tidak memberikan rincian yang
memadai. Karenanya didalam tafsiran, mereka pada umumnya sukar menemukan
uraiaan yang detail. Karena itu, tidak
salah bila dikatakan bahwa metode ijmali merupakan metode tafsir Alquran
yang mula-mula muncul. Metode ini kemudian diterapkan oleh al-Suyuthi di dalam
kitabnya al-Jalalail, dan al-Mughani di dalam kitabnya Taj al-Tafsir,
kemudian diikuti oleh metode tahlili dengan mengambil bentuk al-ma’sur
kemudian tafsir ini berkembang dan menganbil bentuk al-ra’y. Tafsir dalam
bentuk ini kemudian berkembang terus dengan pesat sehingga mengkhususkan
kajiannya dalam bidang-bidang tertentu seperti fiqh, tasawuf, bahasa, dan
sebagainya. Dapat dikatakan, corak-corak serupa inilah di abad mederen yang
mengilhami turunnya tafsir mauhu’y, atau disebut juga dengan metode maudhu’y
(tematik). Kemudian lahir pula metode muqarin (metode perbandingan).
Ini di tandai dengan dikarangnya kitab-kitab tafsir yang menjelaskan ayat yang
beredaksi mirip, seperti Durrat al-Tanzil wa Ghurrat al- Ta’wil oleh
al-Khatib al-Iskafi (w. 240 H.) dan Al-Burhan fi Taujih Mutsyabah Alquran oleh
Taj al-Qurra’ al-Karmani (w. 505 H.). terakhir lahirlahmetode tematik
sebagaimana telah disebutkan. Meskipun pola penafsiran semacam ini telah lama
dikenal dalam sejarah tafsir Alquran, namun sebagai dinyatakan oleh M. Quraish
Shihab, istilah metode maudhu’y yang kita kenal sekarang pertama kali
dicetuskan oleh Ustadz al-Ji (Maha Guru Grnerasi Mufassir), yaitu Ahmad
al-kuumy. Sejak itu tafsir maudhu’y ini berkembang sangat pesat,
sehingga mencakup berbagai topik yang hidup ditengah-tengah masyarakat seperti Al-Ihsan
fi Alquran dan Al-Mar’at fi Alquran karyab al-Aqqad, Al-Riba fi
Alquran oleh al-Maududi, dan lain-lain.[6]
Lahirnya
metode-metode tafsir sebagaimana digambarkan diatas tampak kepada kita lebih
banyak disebabkan oleh tuntutan perkembangan masyarakat yang selalu dinamis.
Pada zaman Nabi dan para sahabat, misalnya pada umumnya mereka adalah ahli
bahasa Arab dan mengetahui secara baik latar belakang turunnya ayat (asbab
al-nuzul), serta mengalami secara langsung situasi dan kondisi ummat ketika
ayat-ayat Alquran turun. Dengan demikian, mereka relatif dapat memahami
ayat-ayat Alquran itu secara benar, tepat, dan akurat.
Berdasarkan
kenyataan sejarah yang demikian, maka untuk memahami suatu ayat, mereka tidak
butuh terhadap uraian yang rinci, tetapi cukup dengan isyarat dan penjelasan
global. Itulah sebabnya Nabi tidak perlu memberikan tafsiran yang detail ketika
mereka bertanya tentang pengertian suatu ayat atau ketika di dalam Alquran
seperti lafad ( ظلم ) dalam ayat 82 surat al-An’am:
الذين امنوا
ولم يلبسوا ايمنهم بظلم اولئك لهم الامن وهم مهتدون
"Orang-orang yang beriman dan tidak
mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang
mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk".[7]
Ayat
ini cukup mengganggu pikiran mereka karena mengandung makna bahwa mereka yang
mencampurkan iman dan aniaya tidak akan memperoleh keamanan dan petunjuk Itu
berarti, seakan-akan mereka percuma beriman karena tidak akan bebas dari azab,
sebab mereka percaya tidak ada di antara mereka yang tidak pernah melakukan
aniaya. Tapi, mereka merasa tenang dan puas setelah Nabi menafsirkan ( ظلم ) di
dalam ayat itu dengan ( شرك ) dengan mengutip ayat 13 surat luqman:
واذقال لقمان لابنه وهو يعظه يابني لا تشرك بالله ان الشرك لظلم عظيم
"dan (ingatlah) ketika Luqman berkata
kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku,
janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah)
adalah benar-benar kezaliman yang besar".[8]
Dikarenakan
kebutuhan mereka telah terpenuhi oleh penafsiran yang singkat (global) serupa
itu, maka mereka tidak memerlukan lagi penjelasan yang rinci dan mendalam.
Itulah yang membuat lahir dan berkembangnya tafsir dengan metode-metode dalam
penafsiran Alquran pada abad-abad pertama. Kemudian, setelah ulama melihat
bahwa penafsiran dengan metode global seperti itu terasa lebih praktis dan
mudah dipahami maka pola semacam itu di ikuti oleh ulama tafsir yang datang
kemudian seperti yang diterapkan dalam al-Suyuthy dan al-Mahalli di dalam kitab
tafsir mereka yang monumental Al-Jalalain, Mighani di dalam kitabnya Taj
al-Tafsir, dan lain-lain.[9]
Pada periode
berikutnya, umat islam semakin majemuk dengan berbondong-bondong bangsa
non-Arab masuk islam, terutama setelah tersebarnya islam ke daerah-daerah yang
jauh di luar tanah Arab. Ondisi ini membawa konsekuensi logis terhadap
perkembangan pemikiran islam; berbagai peradapan dan kebudayaan non Islam masuk
kedalam khazanah intelektual Islam. Akibatnya,
kehidupan umat Islam menjadi terpengaruh olehnya. Untuk menghadapi
kondisi yang sedemikian para pakar tafsir ikut mengantisipassi dengan
menyajikan penafsiran-penafsiran ayat-ayat Alquran yang sesuai dengan perkembangan
zaman dan tuntutan kehidupan umat yang semakin beragam.[10]
D.
Posisi
Metodologi Tafsir dalam Ilmu Tafsir
Di atas telah
disinggung bahwa metodologi tafsir merupakan bagian dari kajian ilmu tafsir,
atau populer dikenal dengan sebutan “Ulum Quran” namun belum dijelaskan
posisinya dalam tatanan ilmu tafsir itu. Posisi tersebut harus jelas supaya
dapat diketahui urgensitasnya.[11]
Apabila diamati
dengan seksama, akan tampak kepada kita bahwa metodologi tafsir merupakan salah
satu substansi yang tidak terpisahkan dari ilmu tafsir. Namun tetap dapat
dibedakan secara jelas. Dengan demikian, metodologi tafsir menduduki posisi
yang termat penting di dalam tatanan ilmu tafsir karena tak mungkin sampai
kepada tujuan tampa menempuh jalan yang menuju kesana.[12]
Sedangkan posisi
metode ijmali terhadap nash berada dalam kutub lain, yaitu kutub ambigu (ghumudh), seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya. Akan tetapi, yang harus di perhatikan adalah
bahwa ijmali disini merupakan bentuk ambiguitas yang membuat teks menerima dua
interpretasi yang tidak bertentangan, baik itu lerangan terhadap penulis dan
saksi untuk tidak menyulitkan penulis dan saksi. Jika ijmal muncul karena
bentuk morfologis (sharf) kata kerja maka para ulama menyebutkan
bentuk-bentuk ijmal yang melahirkan ambiguitas seperti Isytirak (kata
bermakna lebih dari satu), hadzf (penghilangan kata), ikhtilaf marji’
ad-dhamir (perbedaan acuan kata ganti), kemungkinan athaf dan isti’naf
(kata sambung atau bukan), gharabah (kata asing), mudrah al-isti’mal
(kata yang jarang dipergunakan dalam struktur bahasa), al-taqdim wa ta’hir
(mendahulukan dan mengakhirkan), al-takrir al-qathi’u li wasli al-kalam
(pengulangan yang menjadikan hubungan kalimat terputus). Bentuk-bentuk ini
merupakan gejala bahasa stilistika yang ada dalam teks Alquran.[13]
RANGKUMAN dan ANALISIS
A. Pengertian
Metode Ijmali
Secara lughawi, kata al-ijmali berarti ringkasan, ikhtisar, global, dan penjumlahan.
Jadi, tafsir al-ijmali ialah
penafsiran Al-Quran dengan cara mengemukakan isi dan kandungan Al-quran melalui
pembahasan yang panjang dan luas, tidak secara rinci.[14]
Di dalam sistematik uraiannya, penafsiran akan membahas ayat demi ayat sesuai
dengan susunan yang ada di dalam mushhaf; kemudian mengemukakan makna global
yang dimaksud oleh ayat tersebut. Makna yang diungkapkan biasanya diletakkan di
dalam rangkaian ayat-ayat atau menurut pola-pola yang diakui oleh jumhur ulama,
dan mudah dipahami oleh semua orang.
Dengan demikian,
penafsiran metode ini mengikuti cara dan susunan Al-quran yang membuat
masing-masing makna saling berkaitan dengan lainnya.[15]
Di samping itu, penyajinya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa Al-quran
sehingga pendengar dan pembacanya seakan-akan masih tetap mendengar Al-quran
padahal yang didengarnya itu adalah
tafsirnya. Kitab Tafsir Al-Quran al-Karim
karangan Muhammad farid Wajdi, Al-Tafsir
al-Wasith terbitan Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyah, dan Tafsir al-Jalalain serta Taj al-Tafasir karangan Muhammad Utsman
al-Mirghaani, masuk dalam kelompok ini.[16]
B. Ciri-ciri Metode
Ijmali
Perbedaan
utama antara metode ijmali dengan metode tahlili, muqaran, ataupun mawdu’i
adalah terletak pada: Pertama, Cara
seorang mufassir melakukan penafsiran, di mana seorang mufassir langsug
menafsirkan ayat al-Qur’an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan
penetapan judul, Kedua. Mufassir
tidak banyak mengemukakan pendapat dan idenya, Ketiga. Mufassir tidak banyak memberikan penafsiran secara rinci
tetapi ringkas dan umum, meskipun pada beberapa ayat tertentu memberikan
penafsiran yang agak luas, namun tidak pada wilayah analitis.[17]
Dalam sub
bahasan ini sengaja tidak dibandingkan metode global dengan metode komparatif
dan tematik, karena kedua metode terakhir ini sudah jelas jauh sekali polanya
dari metode global. Hal itu disebabkan metode komparatif didominasi oleh
perbandingan, sementara metode tematik berangkat dari judul yang telah
ditetapkan. Kedua pola tersebut sangat jauh dari apa yang berlaku dalam tafsir
yang menggunakan metode global, yakni mufassirnya langsung menafsirkan Al-quran
dari awal sampai akhir tampai perbandingan dan penetapan judul. Pola serupa ini
tak jauh berbeda dengan metode analisis, namun uraian di dalam metode analisis
lebih rinci daripada di dalam metode global, sehingga mufassir lebih banyak
dapat mengemukakan pendapat dan ide-idenya. Sebaliknya, di dalam metode global
tidak ada ruangan baginya untuk mengemukakan
pendapat serupa itu. Itulah sebabnya, Kitab-kitab tafsir Ijmali seperti di sebutkan diatas tidak
memberikan penafsiran secara rinci, tapi ringkas dan umum, sehingga
seoakan-akan kita masih membaca Al-quran padahal yang dibaca adalah tafsirannya.
Namun pada ayat-ayat tertentu diberikan juga penafsiran yang agak luas, tapi
tidak sampai pada wilayah tafsir analisis (ijmali).
Contoh-contoh
tafsir ijmali
(الم) ألله أعلم بمراده
( ذلك ) أى
هذا ( الكتاب ) الذى يقرؤه محمد ( لاريب )
شك ( فيه ) أنه من عند الله وجملة النفى خبر
مبتد ؤه ذلك والاءشارة به للتعظيم ( هدى ) خبر ثان أى هاد ( للمتقين ) الصائرين الى
التقوى بامتثال الأوامر واجتناب النواهى لاتقائهم بذالك النار
Penafsiran yang
diberikan oleh Al-Jalalain terhadap dua ayat pertama dari Al-Baqarah itu tampak
kepada kita sangat singkat dan global sehingga tidak ditemui rincian atau
penjelasan yang memadai. Penafsiran tentang (Alif lam mim). Misalnya, dia hanya
berkata: Allah Maha Tahu maksudnya. Demikian
penafsiran (Al-Kitaabu), hanya dikatakan: Yang
dibacakan oleh Muhammad. Begitu seterusnya, tampa ada rincian sehingga
penafsiran dua ayat itu hanya dalam beberapa baris saja.[18]
C. Kelebihan dan
Kekurangan Metode Ijmali
Setiap
metode tentu saja memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga dalam menguak
makna al-Qur’an ada yang tidak bisa secara utuh menyentuh makna dan pesan dasar
yang ingin disampaikan oleh al-Qur’an.[19]
Kelebihan
pada metode ijmali, terletak pada:
1)
Proses dan
bentuknya yang mudah dibaca dan sangat ringkas serta bersifat umum.
2)
Terhindar dari
upaya-upaya penafsiran yang bersifat isra’iliyat, karena pembahasan tafsir yang
ringkas dan padat, sehingga sangat tidak memungkinkan seorang mufassir memasukkan
unsur-unsur lain.
3)
Bahasanya yang
akrab dengan bahasa al-Qur’an.
Adapun
kekurangan metode ijmali adalah:
a)
Menjadikan petunjuk
Al-Qur’an bersifat parsial.
b)
Tidak ada ruang
untuk analisis yang memadai. Meskipun demikian model penafsirannya yang sangat
ringkas, maka metode ijmali sangat cocok bagi mereka yang berada pada tahap
permulaan mempelajari tafsir, dan mereka yang disibukkan oleh pekerjannya
sehari-hari atau mereka yang tidak membutuhkan uraian yang detail tentang
pemahaman suatu ayat.[20]
Metode
ijmali yang dipakai oleh para mufassir memang sangat mudah untuk dibaca karena
tidak mengandalkan pendekatan analitis, tetapi dilakukan dengan pola tafsir
yang mudah dan tidak berbelit-belit, walaupun masih menyisakan sesuatu yang
harus ditelaah ulang. Metode ijmali memiliki tujuan dan target bahwa pembaca
harus bisa memahami kandungan pokok al-Qur’an sebagai kitab suci yang memberikan
petunjuk hidup.[21]
D.
Analisis
Dari berbagai
ulasan, komentar, baik dari banyak ahli
maupun dari nash sendiri dapat dipahami bahwa metode ijmali merupakan metode yang sangat global dalam
menafsirkan Alquran, bahkan seakan-akan seperti halnya Alquran terjemahan saja.
Dalam tafsir metode ijmali ini memang sangat mudah untuk dipahami secara
sekilas karena tafsirnya hampir sama dengan terjemahannya. Contoh-contoh
penerapannya banyak sekali ditemukan dalam kitab-kitab tafsir yang dikarang
oleh para ulama terdahulu, seperti halnya kitab jalalain karya Al-Suyuthi dan al-Mahally yanng
monumental sekali.
Meskipun
demikian, metode ijmali ini memiliki beberapa kelebihan, disamping
bahasanya yang terkesan akrab dengan bahasa Alquran, tafsir metode ijmali ini
sangat cocok digunakan bagi para pemula yang hendak mempelajari tafsir dan juga
dalam metode ijmali ini terhindar dari kisah-kisah israiliyat. Akan
tetapi, disamping memiliki kelebihan metode ijmali ini juga mempunyai
kekurangan, yakni penafsirannya yang cenderung persial dan tidak ada ruang
untuk analisis yang memadahi.
REFERENSI KETERANGAN:
- Al-Qur'an Al-Karim dan Terjemahannya
- Abd.Muin Salim (Metodologi Ilmu Tafsir),Jogjakarta 2005
- Nsr Hamid Abu Zaid(Tekstualitas Al-Quran) Ter. Khoirun Nahdiyah, Yogyakarta 2005 PT.Lukis Pelangi Aksara.
- Abd.Hayy Al-Farmawi 1996 (MMetode Maudhuiy) Rajawali Pers, Jakarta.
- Nasruddin Baidan 2002 (Metode Penafsiran Al-Qur'an) Yogjakarta, Pustaka Belajar.
- Nasruddin Baydan 2005 (Metode Penafsiran Al-Qur'an) Yogjakarta,Pustaka Belajar.
- Ahmad Izzan 2007 (Metodologi Ilmu Tafsir) Bandung, Tafakkur.
- Abd.kholid 2003 (madzahib Al-Tafsir) IAIN Sunan Ampel.
[1]Said Agil
Khusain al-Munawwar dalam kata pengantarnya untuk buku Ali Hasan al-Aridl,Sejarah
dan Metodologi tafsir,trej. Ahmad Akrom (Jakarta: Rajawali Prees,
1992),hal.5.
[8]Alquran dan
Terjemahannya
[9]Nazaruddin
Baidan
[13]Nasr Hamid Abu
Zaid, Tekstualitas Alquran, ter. Khoirun Nahdiyyin, (Yogyakarta: PT. LkiS
Pelangi Aksara, 2005), 226
[14]Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir,(Tafakkur, Bandung 2007)hal,105
[15]Abd. Al-Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’iy,(Rajawali Pers,
Jakarta 1996) hal, 29
[16]Abd. Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir,(Teras,
Yogyakarta 2005) hal, 46
[17]Abd. Kholid, Madzahib al-Tafsir, (IAIN SA 2003)hal, 49
[18]Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-quran,(Pustaka
Pelajar, Yogyakarta 2005)hal,17-18
[19]Ibid, 50
[20]Ibid, 22
[21]Ibid, 29
شكرا.....
BalasHapus