Rabu, 25 September 2013

METODE PENAFSIRAN IJMALI (GLOBAL)



   Latar Belakang Masalah
Alquran merupakan sumber utama kebenaran, terutama dalam menelusuri bayan Alquran itu sendiri. Menurut Nasr Hamid bahwa  tafsir itu relatif dan akan menetapkan Alquran pada posisi yang sama dengan teks yang lain
. Yang berarti bahwa tidak ada otoritas utama dan tidak ada kebenaran mutlak dalam teks apapun termasuk Alquran.
Alquran itu laksana samudra yang keajaiban dan keunikannya tidak akan sirna ditelan masa, sehingga lahirnya bermacam-macam tafsir dengan metode yang benareka ragam pula, sehingga banyak pendapat ulama yang beragam, juga penafsiran tersebut merupakan hal yang sangat berguna bagi setiap manusia untuk memahami Alquran secara Keseluruhan, baik dalam cara global, analisis dan lainsebagainya.
Dengan timbulnya penafsiran terhadap Alquran sehingga Alquran bisa menyeimbangi zaman yang telah moderen, sehingga banyak atau bisa kita kaji untuk permasalahan yang kita hadapi dimasa kini dan dimasa yang akan mendatang.


A.    Sekilas Tentang Metodologi Tafsir
Study tentang metodologi tafsir masih terbilang baru dalam khazanah intelektual umat islam. Ia baru dijadikan sebagai objek kajian tersendiri jauh setelah tafsir berkembang pesat. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika metodologi tafsir tertinggal jauh dari kajian tafsir itu sendiri.[1]
Secara historis setiap penafsiran telah menggunakan satu atau lebih metode dalam menafsirkan alQuran. Pilihan metode-metode tersebut tergantung kepada kecenderungan dan sudut pandang mufassir, serta latar belakang keilmuan dan aspek-aspek lain yang melingkupinya. Secara tegas dapat pula dikatakan, metode-metode tafsir tertentu telah digunakan secara aplikatif oleh para penafsir itu untuk kebutuhan penafsiran dimaksud. Hanya saja metode-metode tidak disebutkan dan dibahas secaraeksplisit, barulah metode ini dikaji sehingga melahirkan apa yang dikenal dengan metodologi tafsir.
B.     Pengertian Metodologi Tafsir
Kata “metode” berasal dari bahasa Yunani methodos yang bererti cara atau jalan. Dalam bahasa Inggris, kata ini ditulis method, dan dalam bahasa Arab menerjemahkannya dengan thariqat dan manhaj. Dalam bahasa Indonesia, kata tersebut mengandung arti, “cara yang teratur dan berpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya); cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai suatu yang ditentukan.” Pengertian metode yang umum itu dapat digunakan pada berbagai objek, baik berhubungan dengan pemikiran maupun penalaran akal, atau menyangkut pekerjaan fisik. Jadi dapat dikatakan,  metode adalah salah satu sarana yang amat penting untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam kaitan ini, maka studi tafsir Alquran tidak lepas dari metode, yakni suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam ayat-ayat Alquran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.[2]
Definisi itu memberikan gambaran kepada kita bahwa metode tafsir Alquran tersebut berisi seperangkat kaidah dan atuiran yang harus diindahkan ketika menafsirkan ayat-ayat Alquran. Apabila seorang menafsirkan Alquran tampa menerapkan metode, tidak mustahil penafsirannya akan keliru. Tafsir serupa ini disebut bi al-ra’y al-mahdh (tafsir berdasarkan pemkiran semata) yang dilarang oleh Nabi, bahkan Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa penafsiran serupa itu haram.[3]
Adapun metodologi tafsir ialah ilmu tentang metode menafsirkan Alquran. Dengan demikian, kita dapat membedakan antara dua istilah itu, yakni: metode tafsir, cara-cara menafsirkan Alquran; sementara metode tafsir, ilmu tentang cara tersebut. Pembahasan teoritis dan ilmiah mengenai metode mukorin (perbandingan), misalnya, disebut analisis metodologi; sedangkan jika pembahasan itu berkaitan dengan cara penerapan metode itu terhadapa ayat-ayat Alquran, ini disebut pembahasan metodik. Sedangkan cara menyajikan atau memformulasikan tafsir tersebut dinamakan teknik atau seni penafsiran. Jadi, metode tafsir merupakan kerangka atau kaidah yang digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran; dan seni atau teknis ialah cara yang dipakai ketika menerapkan kaidah yang telah tertuang di dalam metode; sedangkan metodologi tafsir ialah pembahasan ilmiah tentang metode-metode penafsiran Alquran.[4]
C.    Sejarah Perkembangan Metodologi Tafsir
Sejarah mencatat, penafsiran alQuran telah tumbuh dan berkembang sejak masa-masa awal pertumbuhan dan perkembangan islam. Hal ini didukung oleh adanya fakta sejarah yang menyebutkan bahwa Nabi pernah melakukannya. Pada saat sahabat beliau tidak memahami maksud dan kandungan salah satu isi kitab suci alQuran, mereka menanyakan kepada Nabi. Dalam kontek ini Nabi memang berposisi sebagai Mubayyin, penjelas terhadap persoalan ummat. Penafsiran-penafsiran yang dilakukan Nabi memiliki sifat-sifat dan krakteristik tertentu, diantaranya penegasan makna, perincian makana, peluasan dan penyempitan makana, kualifikasi makana dan pemberian contoh. Sedangkan dari segi motifnya, penafsiran Nabi. Terhadap ayat-ayat alQuran mempunyai tujuan-tujuan, pengarahan, peragaan, pembetulan, atau koreksi.
Jika ditelusuri perkembangan tafsir Alquran sejak dulu sampai sekarang, akan ditemukan bahwa dalam garis besarnya penafsiran Alquran itu dilakukan melalui empat cara (metode), yaitu Ijmali (global), Tahlili (analisis), Muqarin (perbandingan), dan Maudhu’iy (tematik).
Para ulama juga telah menulis dan mempersembahkan karya-karya mereka di bidang tafsir ini, dan menjelaskan metode-metode yang digunakan oleh masing-masing tokoh penafsir. Metode-metode tafsir yang dimaksud adalah metode tahlili, metode ijmali, metode muqorin, dan metode maudhu’iy.[5]
Nabi dan para sahabat menafsirkan Alquran secara ijmali, tidak memberikan rincian yang memadai. Karenanya didalam tafsiran, mereka pada umumnya sukar menemukan uraiaan yang detail. Karena itu,  tidak salah bila dikatakan bahwa metode ijmali merupakan metode tafsir Alquran yang mula-mula muncul. Metode ini kemudian diterapkan oleh al-Suyuthi di dalam kitabnya al-Jalalail, dan al-Mughani di dalam kitabnya Taj al-Tafsir, kemudian diikuti oleh metode tahlili dengan mengambil bentuk al-ma’sur kemudian tafsir ini berkembang dan menganbil bentuk al-ra’y. Tafsir dalam bentuk ini kemudian berkembang terus dengan pesat sehingga mengkhususkan kajiannya dalam bidang-bidang tertentu seperti fiqh, tasawuf, bahasa, dan sebagainya. Dapat dikatakan, corak-corak serupa inilah di abad mederen yang mengilhami turunnya tafsir mauhu’y, atau disebut juga dengan metode maudhu’y (tematik). Kemudian lahir pula metode muqarin (metode perbandingan). Ini di tandai dengan dikarangnya kitab-kitab tafsir yang menjelaskan ayat yang beredaksi mirip, seperti Durrat al-Tanzil wa Ghurrat al- Ta’wil oleh al-Khatib al-Iskafi (w. 240 H.) dan Al-Burhan fi Taujih Mutsyabah Alquran oleh Taj al-Qurra’ al-Karmani (w. 505 H.). terakhir lahirlahmetode tematik sebagaimana telah disebutkan. Meskipun pola penafsiran semacam ini telah lama dikenal dalam sejarah tafsir Alquran, namun sebagai dinyatakan oleh M. Quraish Shihab, istilah metode maudhu’y  yang kita kenal sekarang pertama kali dicetuskan oleh Ustadz al-Ji (Maha Guru Grnerasi Mufassir), yaitu Ahmad al-kuumy. Sejak itu tafsir maudhu’y ini berkembang sangat pesat, sehingga mencakup berbagai topik yang hidup ditengah-tengah masyarakat seperti Al-Ihsan fi Alquran dan Al-Mar’at fi Alquran karyab al-Aqqad, Al-Riba fi Alquran oleh al-Maududi, dan lain-lain.[6]
Lahirnya metode-metode tafsir sebagaimana digambarkan diatas tampak kepada kita lebih banyak disebabkan oleh tuntutan perkembangan masyarakat yang selalu dinamis. Pada zaman Nabi dan para sahabat, misalnya pada umumnya mereka adalah ahli bahasa Arab dan mengetahui secara baik latar belakang turunnya ayat (asbab al-nuzul), serta mengalami secara langsung situasi dan kondisi ummat ketika ayat-ayat Alquran turun. Dengan demikian, mereka relatif dapat memahami ayat-ayat Alquran itu secara benar, tepat, dan akurat.
Berdasarkan kenyataan sejarah yang demikian, maka untuk memahami suatu ayat, mereka tidak butuh terhadap uraian yang rinci, tetapi cukup dengan isyarat dan penjelasan global. Itulah sebabnya Nabi tidak perlu memberikan tafsiran yang detail ketika mereka bertanya tentang pengertian suatu ayat atau ketika di dalam Alquran seperti lafad ( ظلم ) dalam ayat 82 surat al-An’am:

 


الذين امنوا ولم يلبسوا ايمنهم بظلم اولئك لهم الامن وهم مهتدون

"Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk".[7]
Ayat ini cukup mengganggu pikiran mereka karena mengandung makna bahwa mereka yang mencampurkan iman dan aniaya tidak akan memperoleh keamanan dan petunjuk Itu berarti, seakan-akan mereka percuma beriman karena tidak akan bebas dari azab, sebab mereka percaya tidak ada di antara mereka yang tidak pernah melakukan aniaya. Tapi, mereka merasa tenang dan puas setelah Nabi menafsirkan ( ظلم ) di dalam ayat itu dengan ( شرك ) dengan mengutip ayat 13 surat luqman:

واذقال لقمان لابنه وهو يعظه يابني لا تشرك بالله ان الشرك لظلم عظيم 

"dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".[8]
            Dikarenakan kebutuhan mereka telah terpenuhi oleh penafsiran yang singkat (global) serupa itu, maka mereka tidak memerlukan lagi penjelasan yang rinci dan mendalam. Itulah yang membuat lahir dan berkembangnya tafsir dengan metode-metode dalam penafsiran Alquran pada abad-abad pertama. Kemudian, setelah ulama melihat bahwa penafsiran dengan metode global seperti itu terasa lebih praktis dan mudah dipahami maka pola semacam itu di ikuti oleh ulama tafsir yang datang kemudian seperti yang diterapkan dalam al-Suyuthy dan al-Mahalli di dalam kitab tafsir mereka yang monumental Al-Jalalain, Mighani di dalam kitabnya Taj al-Tafsir, dan lain-lain.[9]
            Pada periode berikutnya, umat islam semakin majemuk dengan berbondong-bondong bangsa non-Arab masuk islam, terutama setelah tersebarnya islam ke daerah-daerah yang jauh di luar tanah Arab. Ondisi ini membawa konsekuensi logis terhadap perkembangan pemikiran islam; berbagai peradapan dan kebudayaan non Islam masuk kedalam khazanah intelektual Islam. Akibatnya,  kehidupan umat Islam menjadi terpengaruh olehnya. Untuk menghadapi kondisi yang sedemikian para pakar tafsir ikut mengantisipassi dengan menyajikan penafsiran-penafsiran ayat-ayat Alquran yang sesuai dengan perkembangan zaman dan tuntutan kehidupan umat yang semakin beragam.[10]
D.    Posisi Metodologi Tafsir dalam Ilmu Tafsir
Di atas telah disinggung bahwa metodologi tafsir merupakan bagian dari kajian ilmu tafsir, atau populer dikenal dengan sebutan “Ulum Quran” namun belum dijelaskan posisinya dalam tatanan ilmu tafsir itu. Posisi tersebut harus jelas supaya dapat diketahui urgensitasnya.[11]
Apabila diamati dengan seksama, akan tampak kepada kita bahwa metodologi tafsir merupakan salah satu substansi yang tidak terpisahkan dari ilmu tafsir. Namun tetap dapat dibedakan secara jelas. Dengan demikian, metodologi tafsir menduduki posisi yang termat penting di dalam tatanan ilmu tafsir karena tak mungkin sampai kepada tujuan tampa menempuh jalan yang menuju kesana.[12]
Sedangkan posisi metode ijmali terhadap nash berada dalam kutub  lain, yaitu kutub ambigu (ghumudh), seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Akan tetapi, yang harus di perhatikan adalah bahwa ijmali disini merupakan bentuk ambiguitas yang membuat teks menerima dua interpretasi yang tidak bertentangan, baik itu lerangan terhadap penulis dan saksi untuk tidak menyulitkan penulis dan saksi. Jika ijmal muncul karena bentuk morfologis (sharf) kata kerja maka para ulama menyebutkan bentuk-bentuk ijmal yang melahirkan ambiguitas seperti Isytirak (kata bermakna lebih dari satu), hadzf (penghilangan kata), ikhtilaf marji’ ad-dhamir (perbedaan acuan kata ganti), kemungkinan athaf dan isti’naf (kata sambung atau bukan), gharabah (kata asing), mudrah al-isti’mal (kata yang jarang dipergunakan dalam struktur bahasa), al-taqdim wa ta’hir (mendahulukan dan mengakhirkan), al-takrir al-qathi’u li wasli al-kalam (pengulangan yang menjadikan hubungan kalimat terputus). Bentuk-bentuk ini merupakan gejala bahasa stilistika yang ada dalam teks Alquran.[13]

RANGKUMAN dan ANALISIS
A.    Pengertian Metode Ijmali
Secara lughawi, kata al-ijmali berarti ringkasan, ikhtisar, global, dan penjumlahan. Jadi, tafsir al-ijmali ialah penafsiran Al-Quran dengan cara mengemukakan isi dan kandungan Al-quran melalui pembahasan yang panjang dan luas, tidak secara rinci.[14] Di dalam sistematik uraiannya, penafsiran akan membahas ayat demi ayat sesuai dengan susunan yang ada di dalam mushhaf; kemudian mengemukakan makna global yang dimaksud oleh ayat tersebut. Makna yang diungkapkan biasanya diletakkan di dalam rangkaian ayat-ayat atau menurut pola-pola yang diakui oleh jumhur ulama, dan mudah dipahami oleh semua orang.
Dengan demikian, penafsiran metode ini mengikuti cara dan susunan Al-quran yang membuat masing-masing makna saling berkaitan dengan lainnya.[15] Di samping itu, penyajinya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa Al-quran sehingga pendengar dan pembacanya seakan-akan masih tetap mendengar Al-quran padahal yang didengarnya  itu adalah tafsirnya. Kitab Tafsir Al-Quran al-Karim karangan Muhammad farid Wajdi, Al-Tafsir al-Wasith terbitan Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyah, dan  Tafsir al-Jalalain serta Taj al-Tafasir karangan Muhammad Utsman al-Mirghaani, masuk dalam kelompok ini.[16]
B.     Ciri-ciri Metode Ijmali
Perbedaan utama antara metode ijmali dengan metode tahlili, muqaran, ataupun mawdu’i adalah terletak pada: Pertama, Cara seorang mufassir melakukan penafsiran, di mana seorang mufassir langsug menafsirkan ayat al-Qur’an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul, Kedua. Mufassir tidak banyak mengemukakan pendapat dan idenya, Ketiga. Mufassir tidak banyak memberikan penafsiran secara rinci tetapi ringkas dan umum, meskipun pada beberapa ayat tertentu memberikan penafsiran yang agak luas, namun tidak pada wilayah analitis.[17]
Dalam sub bahasan ini sengaja tidak dibandingkan metode global dengan metode komparatif dan tematik, karena kedua metode terakhir ini sudah jelas jauh sekali polanya dari metode global. Hal itu disebabkan metode komparatif didominasi oleh perbandingan, sementara metode tematik berangkat dari judul yang telah ditetapkan. Kedua pola tersebut sangat jauh dari apa yang berlaku dalam tafsir yang menggunakan metode global, yakni mufassirnya langsung menafsirkan Al-quran dari awal sampai akhir tampai perbandingan dan penetapan judul. Pola serupa ini tak jauh berbeda dengan metode analisis, namun uraian di dalam metode analisis lebih rinci daripada di dalam metode global, sehingga mufassir lebih banyak dapat mengemukakan pendapat dan ide-idenya. Sebaliknya, di dalam metode global tidak ada ruangan baginya untuk mengemukakan  pendapat serupa itu. Itulah sebabnya, Kitab-kitab tafsir Ijmali seperti di sebutkan diatas tidak memberikan penafsiran secara rinci, tapi ringkas dan umum, sehingga seoakan-akan kita masih membaca Al-quran padahal yang dibaca adalah tafsirannya. Namun pada ayat-ayat tertentu diberikan juga penafsiran yang agak luas, tapi tidak sampai pada wilayah tafsir analisis (ijmali).
Contoh-contoh tafsir ijmali
(الم)  ألله أعلم بمراده
( ذلك ) أى هذا ( الكتاب ) الذى يقرؤه محمد  ( لاريب ) شك  ( فيه ) أنه من عند الله وجملة النفى خبر مبتد ؤه ذلك والاءشارة به للتعظيم ( هدى ) خبر ثان أى هاد ( للمتقين ) الصائرين الى التقوى بامتثال الأوامر واجتناب النواهى لاتقائهم بذالك النار 
Penafsiran yang diberikan oleh Al-Jalalain terhadap dua ayat pertama dari Al-Baqarah itu tampak kepada kita sangat singkat dan global sehingga tidak ditemui rincian atau penjelasan yang memadai. Penafsiran tentang (Alif lam mim). Misalnya, dia hanya berkata: Allah Maha Tahu maksudnya. Demikian penafsiran (Al-Kitaabu), hanya dikatakan: Yang dibacakan oleh Muhammad. Begitu seterusnya, tampa ada rincian sehingga penafsiran dua ayat itu hanya dalam beberapa baris saja.[18]
C.    Kelebihan dan Kekurangan Metode Ijmali
Setiap metode tentu saja memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga dalam menguak makna al-Qur’an ada yang tidak bisa secara utuh menyentuh makna dan pesan dasar yang ingin disampaikan oleh al-Qur’an.[19]
Kelebihan pada metode ijmali, terletak pada:
1)      Proses dan bentuknya yang mudah dibaca dan sangat ringkas serta bersifat umum.
2)      Terhindar dari upaya-upaya penafsiran yang bersifat isra’iliyat, karena pembahasan tafsir yang ringkas dan padat, sehingga sangat tidak memungkinkan seorang mufassir memasukkan unsur-unsur lain.
3)      Bahasanya yang akrab dengan bahasa al-Qur’an.
Adapun kekurangan metode ijmali adalah:
a)      Menjadikan petunjuk Al-Qur’an bersifat parsial.
b)      Tidak ada ruang untuk analisis yang memadai. Meskipun demikian model penafsirannya yang sangat ringkas, maka metode ijmali sangat cocok bagi mereka yang berada pada tahap permulaan mempelajari tafsir, dan mereka yang disibukkan oleh pekerjannya sehari-hari atau mereka yang tidak membutuhkan uraian yang detail tentang pemahaman suatu ayat.[20]
Metode ijmali yang dipakai oleh para mufassir memang sangat mudah untuk dibaca karena tidak mengandalkan pendekatan analitis, tetapi dilakukan dengan pola tafsir yang mudah dan tidak berbelit-belit, walaupun masih menyisakan sesuatu yang harus ditelaah ulang. Metode ijmali memiliki tujuan dan target bahwa pembaca harus bisa memahami kandungan pokok al-Qur’an sebagai kitab suci yang memberikan petunjuk hidup.[21]
D.    Analisis
Dari berbagai ulasan, komentar,  baik dari banyak ahli maupun dari nash sendiri dapat dipahami bahwa metode  ijmali  merupakan metode yang sangat global dalam menafsirkan Alquran, bahkan seakan-akan seperti halnya Alquran terjemahan saja. Dalam tafsir metode ijmali ini memang sangat mudah untuk dipahami secara sekilas karena tafsirnya hampir sama dengan terjemahannya. Contoh-contoh penerapannya banyak sekali ditemukan dalam kitab-kitab tafsir yang dikarang oleh para ulama terdahulu, seperti halnya kitab jalalain  karya Al-Suyuthi dan al-Mahally yanng monumental sekali.
Meskipun demikian, metode ijmali ini memiliki beberapa kelebihan, disamping bahasanya yang terkesan akrab dengan bahasa Alquran, tafsir metode ijmali ini sangat cocok digunakan bagi para pemula yang hendak mempelajari tafsir dan juga dalam metode ijmali ini terhindar dari kisah-kisah israiliyat. Akan tetapi, disamping memiliki kelebihan metode ijmali ini juga mempunyai kekurangan, yakni penafsirannya yang cenderung persial dan tidak ada ruang untuk analisis yang memadahi.

REFERENSI KETERANGAN:

  1. Al-Qur'an Al-Karim dan Terjemahannya
  2. Abd.Muin Salim (Metodologi Ilmu Tafsir),Jogjakarta 2005
  3. Nsr Hamid Abu Zaid(Tekstualitas Al-Quran) Ter. Khoirun Nahdiyah, Yogyakarta 2005 PT.Lukis Pelangi Aksara.
  4. Abd.Hayy Al-Farmawi 1996 (MMetode Maudhuiy) Rajawali Pers, Jakarta.
  5. Nasruddin Baidan 2002 (Metode Penafsiran Al-Qur'an) Yogjakarta, Pustaka Belajar.
  6. Nasruddin Baydan 2005 (Metode Penafsiran Al-Qur'an) Yogjakarta,Pustaka Belajar.
  7. Ahmad Izzan 2007 (Metodologi Ilmu Tafsir) Bandung, Tafakkur.
  8. Abd.kholid 2003 (madzahib Al-Tafsir) IAIN Sunan Ampel.




[1]Said Agil Khusain al-Munawwar dalam kata pengantarnya untuk buku Ali Hasan al-Aridl,Sejarah dan Metodologi tafsir,trej. Ahmad Akrom (Jakarta: Rajawali Prees, 1992),hal.5.
[2]Nasruddin Baidan, Metode Penafsiran Alquran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 1-2
[3]Ibid, 2.
[4]Nashruddin Baidan, 2005,  3
[5]Abd. Al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’iy
[6]Nashruddin Baidan, 2005,  3-4
[7]Alquran dan Terjemahannya
[8]Alquran dan Terjemahannya
[9]Nazaruddin Baidan
[10]Nazaruddin Baidan, 7
[11]Nazaruddin Baidan, 8
[12]Nazaruddin Baidan, 10
[13]Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Alquran, ter. Khoirun Nahdiyyin, (Yogyakarta: PT. LkiS Pelangi Aksara, 2005), 226
[14]Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir,(Tafakkur, Bandung 2007)hal,105
[15]Abd. Al-Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’iy,(Rajawali Pers, Jakarta 1996) hal, 29
[16]Abd. Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir,(Teras, Yogyakarta 2005) hal, 46
[17]Abd. Kholid, Madzahib al-Tafsir, (IAIN SA 2003)hal, 49
[18]Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-quran,(Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2005)hal,17-18
[19]Ibid, 50
[20]Ibid, 22
[21]Ibid, 29

1 komentar: