Senin, 27 Mei 2013

PENAFSIRAN AL-QUR'AN DI MASA SHAHABAT


 Berbicara tentang masalah penafsiran Al-quran, sesungguhnya penafsiran Al-quran sudah berlangsung sejak zaman nabi Muhammad SAW.(571-632M), dan masih tetap berlangsung hingga sekarang, bahkan pada masa mendatang. Penafsiran Alquran sungguh telah menghabiskan waktu yang sangat panjang dan melahirkan
sejarah tersendiri bagi pertumbuhan dan perkembangan ilmu Alquran, khususnya tafsir Alquran. Upaya menulusuri sejarah penafsiran Alquran yang sangat panjang dan tersebar luas di segenap penjuru dunia islam itu tentu saja bukan perkara mudah, Apalagi untuk menguraikan secara panjang lebar dan detail.
          Penelusuran sejarah Tafsir Alquran selain perlu merujuk ke berbagai literatur yang ada, juga melacak para pelaku penafsiran itu yang lazim dikenal dengan sebutan thabaqat al-mufassirin (jenjang tingkatan para mufassir).
           Secara global, sebagian ahli tafsir membagi periodesasi penafsiran Alquran kedalam tiga fase; periode mutaqaddimin  (abad 1-4 hijrah), periode  mutaakhkhirin (abad 4-12 hijrah) dan periode baru (abad 12-sekarang). Ada pula mufassir yang memilahnya kedalam beberapa fase yang lebih banyak seperti yang dilakukan oleh  Syekh Ahmad Mustofa al-Maraghi (1300-1371 H/1883-1925 M) yang membedakan thabaqat al-mufassirin (jenjang tingkatan para mufassiri) dalam tujuh tahapan[1]; (i) tafsir pada masa sahabat; (ii)tafir pada masa tabi’in; (iii) tafsir  masa penghimpunan pendapat para sahabat dan tabi’in; (iv)tafsir generasi Ibnu Jarir dan kawan-kawan yang mulai menuliskan penafsirannya;(v) tafsir generasi  mufassir yang sumber penafsirannya mengabaikan penyebutan rangkayan(sanad) periwayatan; (vi) tafsir masa kemajuan peradaban dan kebudayaan Islam yang oleh al- Maraghi disebut-sebut sebagai ‘ashr al-ma’rifah al-islamiyyah; (vii) tafsir masa penulisan,transliterasi, dan penerjemahan Alquran kedalam berbagai bahasa asing. Akan tetapi, kita akan lebih memfokuskan diri terhadap pembahasan tafsir pada periode mutaqaddimin (pada masa sahabat, tabi’in, dan tabi’i al tabi’in).
1.      Periode Mutaqaddimin
     Periode mutaqaddimin (abad1-4 hijrah) meliputi masa sahabat, tabi’in, dan tabi’i al-tabi’in. Sepeninggal nabi Muhammad SAW. (11 H/632 M) selaku  mufassir  pertama ( al-mufassiril al- awwal)  dan tunggal pada zamannya, penafsiran Alquran dilakukan oleh para sahabat. Dari kalangan sahabat, setidak-tidaknya tercatat sekitar sepuluh orang  mufassir  yang sangat terkenal: (1) Abu Bakar al-Shiddiq (w. 13 H/634 M); (2) Umar ibn Al- Khattab ( w.23 H/644 M); (3) Utsman bin Affan (w.35 H/656 M); (4) Ali bin Abi Thalib (w. 40 H/661 M) yang lazim disebut al- khulafa’ ar-rasyidin (para kholifah yang lurus); (5) Ibn Mas’un (w.32 H/653 M); (6) Zaid Bin Tsabit (w.45 H/665 M); (7) Ubay Ibn Ka’ab (w.20 mH/640 M) (8) Abu Musa al- Asy’ari (w. 44 H/664 M); (9) Abdulloh bin Zubair (w. 73 H/692 M ); dan (10) Abdulloh bin Abbas (w.68 H/687 M). Nama yang disebutkan terakhir pernah mendapatkan doa khusus dari Rasululloh  Saw. Agar dia memahami (penafsiran) Al-quran, dan ternyata terbukti.
     Dari kalangan al-khulafa’ ar-rasyidin, Ali bin Abi thaliblah yang dikenal paling banyak menafsirkan Alquran, sedangkan tiga lainnya, terutama Abu Bakar, selain Umar dan Utsman, relatif tidak banyak terlibat secara aktif dalam kegiatan penafsiran Alquran. Ketidak aktifan itu terjadi karna Utsman, Umar, dan Abu Bakar yang secara berturut- turut terlibat langsung dengan kegiatan dunia politik praktis sehubungan dengan jabatannya sebagai kholifah (kepala negara). Juga, karna usia mereka, terutama Abu Bakar yang tidak lama berselang dari kematian Nabi Muhammad Saw. Seperti diketahui bahwa setelah  Nabi Muhammad Saw wafat, Abu bakar secara aklamasi , meskipun didahului oleh perdebatan yang cukup tegang dan panas, di baiat oleh khalayak untuk segera menggantikan posisi Rosululloh Saw. Selaku pemimpin umat dan negara (kholifah). Tetapi, dua tahun kemudian Abu Bakar yang terkenal lemah lembut itupun wafat. Meskipun sedikit lebih panjang dari masa kekholifahan Abu Bakar, namun Umar dan Utsman yang masing-masing menjadi khalifah selama empat tahun dan dua belas tahun, juga wafat lebih dulu dibandingkan dengan Alibin Abi Thalib.
      Faktor lain yang menyebabkan Ali bin Abi Thalib lebih banyak melakukan penafsiran Alquran dibandingkan tiga khalifah lainnya adalah karna Ali telah memeluk Islam sejak masa kanak-kanak. Jadi, berbeda dengan ketiga shahabat lainnya, terutama Umar dan Abu Bakar yang telah memeluk Islam setelah dewasa, bahkan usia yang relatif tua. Satu hal yang kemungkinan besar menjadi faktor penentu adalah pernyataan dalam sebuah hadits bahwa aku adalah gudang ilmu, dan Ali bin Abi Thalib adalah pintunya. Itulah sebabnya sepanjang periode tiga khalifah, Ali bin Abi Thalib selalu menjadi penasihat ketiganya dalam hal Ilm-ilmu ke islaman.
      Tidak sama dengan para khalifah diatasyang sebagian besar waktunya habis tersisa untuk pelayanan masyarakat, para shahabat lain yang termasuk sepuluh mufassir awal itu, terutama Ibnu Abbas yang mendapat gelar tarjuman al-quran (juru bicara Alquran),  habral-ummat (sumber ilmu umat),  syakh al- mufassirin ( guru besar mufassir), dan pernah mendapatkan doa khusus dari Rasulullha Saw, dalam hal penakwilan Alquran, memiliki banyak waktu dan kesempatan untuk terlibat secara aktif  dalam kegiatan penafsiran Alquran. Namun, tidak berarti bahwa sahabat lain di luar Ibn Abbas tidak memiliki andil besar (saham) bagi pengembangan tafsir Alquran. Para sahabat besar lannya, terutama Ibn Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al- asy’ari’ dan Abdullah bin al- Zubayr juga banyak terlibat aktif dengan aktifitas penafsiran Alquran.
       Seiring sejalan aktifitas mereka, para sahabat lainnyapun turut serta dan terlibat aktif  dalam upaya pengembangan penafsiran Alquran, antara lain, Anas bin Malik (w.93 H/711 M) Abu Hurairah (w.85 H/704 M), Abdullah Bin Umar (w. 73 H/692 M), Abdallah bin Amr bin al- Ash (w. 65 H/684 M), termasuk Aisyah r.a. (w. 57 H/676 M). Sayangnya, dibandingkan enam sahabat yang telah disebutkan di awal, para sahabat yang disebutakan terakhir tidak berkonsentrasi secara penuh kepada penafsiran Alquran karan keahlian para sahabat tersebut kebanyakan memang bukan ahli tafsir. Misalnya, Abu Hurairah, lebih populer dibidang hadis, sedangkan Anas bin Malik, Abdullah bin Umar,dan Ubaidillah bin Amr bin al- Ash lebih menonjol dalam ilmu fiqh. Pun, Aisyah r.a.  ummahatul mukminin, lebih akrab dengan dunia hukum halal-haram(fikih), khususnya bidang faraid (warisan).
      Sulit dipungkiri kebenarannya bahwa para sahabat memiliki kedudukan, peran, dan keterlibatan yang sangat istimewa dalam pengembangan tafsir Alquran, sebagian ahli tafsir dan hadis, antara lain Alhakim dalam karya besarnya yang berjudul al-mustadrak menyatakan bahwa tafsir as-shahabi  yang pemiliknya (yakni para sahabat)menyaksikan secara langsung proses penurunan wahyu Alquran menduduki derajat hadis marfu’­_hadis yang sanadnya sampai kepada Rasulullha SAW. Jadi tafsir para sahabat itu seolah-olah diriwayatkan oleh Nabi Muhammad Saw.
       Sumber tafsir Alquran yang menjadi rujukan para sahabat adalah, Alquran, hadis, dan ijtihat para sahabat sendiri meskipun dalam ruang lingkup yang terbatas. Penafsiran para sahabat itu dikembangkan oleh generasi tabi’in. Berbeda dengan para sahabat yang secara umum bermukim di Madinah, terutama pada zaman Umar bin al- Khattab, pada masa generasi sahabat kecil dan tabi’in, tokoh-tokoh islam (termasuk para mufassir) tersebar luas di berbagai kota Islam. Di setiap kota terkemuka seperti di Madinah, Mekkah, Irak terdapat sejumalah mufassir ternama.
       Beberapa nama mufassir yang bermukim di Mekkah yang umumnya berguru dan belajar kepada Abdullah bin Abbas tercatat, antara lain, Said bin Jabr (w.94 H/712 M), Mujahid bin Jabr (21-103 H/641-721 M), Ikrimah maula ibn Abbas (w.106 H/724 M), dan Atha’ ibn Abi Rabbah al-Makky (w.114 H/723 M). Tentang mereka, Sufyan ats-Tsauri berkata: “silahkan kalian ambil tafsir dari empat orang, yakni Said bin Jabr, Mujahid, Ikrimah, dan ad-Dhahak”.[2]  Qatadah menyatakan bahwa ada empat orang tabi’in yang sangat alim dibidangnya masing-masing, yaitu Atha’ bi Abi Rabah yang lebih ahli dibidang manasik haji; Said bin Jabr yang sangat piawai dibidang tafsir; Ikrimah yang sangat ahli dibidang sejarah; dan Hasan al- Bashri yang sangat piawai dibidang hukum halal-haram.
     Beberapa nama ahli tafsir yang bermukim di Madinah yang dipimpin oleh Ubay bin Ka’ab, yang banyak mengajarkan tafsir Alquran kepada tokoh-tokoh tabi’in . seperi Zaid bin Aslam (w.136 H), Abul Aliyah (w.90 H), dan Muhammad bin Ka’ab (w. 118 H). Kmudian pada mereka bertiga inilah para tabi’in yang lain da tabi’inat-tabi’in belajar tafsir.
      Beberapa nama ahli tasfir yang bermukim di Kuffah yang kebanyakan merupakan murid dari Ibn Mas’ud tercatat antara lain, an-Nakha’i (w.95 H/713 M), Alqamah bin Qais (w.102 H/720 M), dan Asya’bi (w.105 H/723 M) .
       Sesudah generasi tabi’in, tafsir Alquran pun dikembangkan oleh generasi tabi’i at-tabi’in yang oleh Ahmad Musthafa al-Maraghidisebut sebagai periode penghimpunan tafsir sahabat dan tabi’in. Nama-nama yang tercatat nama-nama mufassir sebagai berikut: Syu’bah bin al-Hajjaj (w.160 H/724 M), Waki’ bin Al-Jarrah al-Kufi (w.97 H/715 M), Sufyan bin ‘uyainah (198 H/813 M), Rauh bin Ubadah (w.205 H/820 M).
      Menurut  ibn Taimiyah, sepandai- pandai ulama tabi’in dalam urusan tafsir  ialah sahabat-sahabat ibn Abbas dan sahabat- sahabat ibn Mas’ud dan ulama- ulama Madinah seperti Zaid bin Aslam dan Imam Malik bin Anas[3].
       Yang paling terkenal diantara para tabiin, ialah: Mujahid dan Said bin Jubair.
       Oleh Imam Ibnu taimiyah :oleh karna Mujahid dipandang seorang mufassir tabi’in yang besar, berpeganglah Asy- Syafi’i dan al- Bukhari kepadanya.
     Kata An-Nawawi: Apabila kamu telah mengetahui tafsir Mujahid, cukuplah bagimu tafsirnya itu.
     “Dalam pada itu sebagian ulama tidak menerima tafsir Mujahid, dengan alasan bahwa beliau banyak bertanya kepada Ahlul Kitab”[4]
      Ada beberapa ciri utama tafsir yang berhasil dikembangkan pada periode tabi’in hingga awal tabi’it tabi’in, baik yang bersifat positif maupun negatif. Nilai pofitifnya ialah bahwa mereka mewarisi cara dan corak penafsiran para sahabat, sedangkan negatifnya sebagai berikut;
a.       Dalam hal tertentu, tafsir Alquran telah banyak disusupi oleh kisah-kisah isra’iliyyat, baik dari kalangan Nashrani maupun Yahudi. Pada masa itu, banyak tokoh Yahudi dan Nasrani yang memeluk Islam, sementara pada saat yang sama, mereka masih merasa sulit untuk meninggalkan berbagai kisah yang diwarisi dari agama lamanya.
b.      Penafsiran Alquran yang mereka lakukan dengan sistem hafalan dan periwayatan sehingga mengalami kesulitan dalam pengontrolan.
c.       Tidak lagi utuh seperti yang pernah dilakukan sahabat dalam periwayatan informasi yang mereka peroleh dari Nabi Muhammad SAW. Periode inilah yang oleh syekh Al-Maraghi disebut sebagai periode tafsir yang menghilangkan sanad.
d.      Penafsiran Alquran banyak diwarnai oleh perbedaan pendapat baik teologi maupun fikih, terutama bidang politik yang sedikit banyak (langsung dan tidak langsung) mempengaruhi perkembangan aliran ilmu keislaman, termasuk tafsir Alq




[1] Metodologi ilmu tafsir (tafakur HUMANIORA;Bandung)hal 14
[2] Metodologi ilmu tafsir (tafakur HUMANIORA;Bandung) hal21
[3] Pengantar ilmu tafsir (Bumi Aksara:jakarta) hal 108
[4] Pengantar ilmu tafsir (Bumi Aksara: Jakarta)hal 109

2 komentar: