Berbicara tentang masalah penafsiran Al-quran,
sesungguhnya penafsiran Al-quran sudah berlangsung sejak zaman nabi Muhammad
SAW.(571-632M), dan masih tetap berlangsung hingga sekarang, bahkan pada masa mendatang.
Penafsiran Alquran sungguh telah menghabiskan waktu yang sangat panjang dan
melahirkan
sejarah tersendiri bagi pertumbuhan dan perkembangan ilmu Alquran, khususnya tafsir Alquran. Upaya menulusuri sejarah penafsiran Alquran yang sangat panjang dan tersebar luas di segenap penjuru dunia islam itu tentu saja bukan perkara mudah, Apalagi untuk menguraikan secara panjang lebar dan detail.
sejarah tersendiri bagi pertumbuhan dan perkembangan ilmu Alquran, khususnya tafsir Alquran. Upaya menulusuri sejarah penafsiran Alquran yang sangat panjang dan tersebar luas di segenap penjuru dunia islam itu tentu saja bukan perkara mudah, Apalagi untuk menguraikan secara panjang lebar dan detail.
Penelusuran sejarah Tafsir Alquran
selain perlu merujuk ke berbagai literatur yang ada, juga melacak para pelaku
penafsiran itu yang lazim dikenal dengan sebutan thabaqat al-mufassirin (jenjang
tingkatan para mufassir).
Secara global, sebagian ahli tafsir
membagi periodesasi penafsiran Alquran kedalam tiga fase; periode mutaqaddimin
(abad 1-4 hijrah), periode mutaakhkhirin (abad 4-12 hijrah) dan
periode baru (abad 12-sekarang). Ada pula mufassir yang memilahnya
kedalam beberapa fase yang lebih banyak seperti yang dilakukan oleh Syekh Ahmad Mustofa al-Maraghi (1300-1371
H/1883-1925 M) yang membedakan thabaqat al-mufassirin (jenjang tingkatan
para mufassiri) dalam tujuh tahapan[1];
(i) tafsir pada masa sahabat; (ii)tafir pada masa tabi’in; (iii)
tafsir masa penghimpunan pendapat para
sahabat dan tabi’in; (iv)tafsir generasi Ibnu Jarir dan kawan-kawan yang mulai
menuliskan penafsirannya;(v) tafsir generasi mufassir yang sumber penafsirannya
mengabaikan penyebutan rangkayan(sanad) periwayatan; (vi) tafsir masa kemajuan
peradaban dan kebudayaan Islam yang oleh al- Maraghi disebut-sebut sebagai ‘ashr
al-ma’rifah al-islamiyyah; (vii) tafsir masa penulisan,transliterasi, dan
penerjemahan Alquran kedalam berbagai bahasa asing. Akan tetapi, kita akan
lebih memfokuskan diri terhadap pembahasan tafsir pada periode mutaqaddimin
(pada masa sahabat, tabi’in, dan tabi’i al tabi’in).
1.
Periode Mutaqaddimin
Periode mutaqaddimin (abad1-4
hijrah) meliputi masa sahabat, tabi’in, dan tabi’i al-tabi’in. Sepeninggal
nabi Muhammad SAW. (11 H/632 M) selaku mufassir pertama ( al-mufassiril al- awwal) dan tunggal pada zamannya, penafsiran Alquran
dilakukan oleh para sahabat. Dari kalangan sahabat, setidak-tidaknya tercatat
sekitar sepuluh orang mufassir yang sangat terkenal: (1) Abu Bakar al-Shiddiq
(w. 13 H/634 M); (2) Umar ibn Al- Khattab ( w.23 H/644 M); (3) Utsman bin Affan
(w.35 H/656 M); (4) Ali bin Abi Thalib (w. 40 H/661 M) yang lazim disebut al-
khulafa’ ar-rasyidin (para kholifah yang lurus); (5) Ibn Mas’un (w.32 H/653
M); (6) Zaid Bin Tsabit (w.45 H/665 M); (7) Ubay Ibn Ka’ab (w.20 mH/640 M) (8)
Abu Musa al- Asy’ari (w. 44 H/664 M); (9) Abdulloh bin Zubair (w. 73 H/692 M );
dan (10) Abdulloh bin Abbas (w.68 H/687 M). Nama yang disebutkan terakhir
pernah mendapatkan doa khusus dari Rasululloh
Saw. Agar dia memahami (penafsiran) Al-quran, dan ternyata terbukti.
Dari kalangan al-khulafa’ ar-rasyidin, Ali
bin Abi thaliblah yang dikenal paling banyak menafsirkan Alquran, sedangkan
tiga lainnya, terutama Abu Bakar, selain Umar dan Utsman, relatif tidak banyak
terlibat secara aktif dalam kegiatan penafsiran Alquran. Ketidak aktifan itu
terjadi karna Utsman, Umar, dan Abu Bakar yang secara berturut- turut terlibat
langsung dengan kegiatan dunia politik praktis sehubungan dengan jabatannya
sebagai kholifah (kepala negara). Juga, karna usia mereka, terutama Abu
Bakar yang tidak lama berselang dari kematian Nabi Muhammad Saw. Seperti
diketahui bahwa setelah Nabi Muhammad
Saw wafat, Abu bakar secara aklamasi , meskipun didahului oleh perdebatan yang
cukup tegang dan panas, di baiat oleh khalayak untuk segera menggantikan posisi
Rosululloh Saw. Selaku pemimpin umat dan negara (kholifah). Tetapi, dua
tahun kemudian Abu Bakar yang terkenal lemah lembut itupun wafat. Meskipun
sedikit lebih panjang dari masa kekholifahan Abu Bakar, namun Umar dan Utsman
yang masing-masing menjadi khalifah selama empat tahun dan dua belas tahun,
juga wafat lebih dulu dibandingkan dengan Alibin Abi Thalib.
Faktor lain yang menyebabkan Ali bin Abi
Thalib lebih banyak melakukan penafsiran Alquran dibandingkan tiga khalifah
lainnya adalah karna Ali telah memeluk Islam sejak masa kanak-kanak. Jadi,
berbeda dengan ketiga shahabat lainnya, terutama Umar dan Abu Bakar yang telah
memeluk Islam setelah dewasa, bahkan usia yang relatif tua. Satu hal yang
kemungkinan besar menjadi faktor penentu adalah pernyataan dalam sebuah hadits
bahwa aku adalah gudang ilmu, dan Ali bin Abi Thalib adalah pintunya. Itulah sebabnya
sepanjang periode tiga khalifah, Ali bin Abi Thalib selalu menjadi penasihat
ketiganya dalam hal Ilm-ilmu ke islaman.
Tidak sama dengan para khalifah diatasyang
sebagian besar waktunya habis tersisa untuk pelayanan masyarakat, para shahabat
lain yang termasuk sepuluh mufassir awal itu, terutama Ibnu Abbas yang mendapat
gelar tarjuman al-quran (juru bicara Alquran), habral-ummat (sumber ilmu umat), syakh al- mufassirin ( guru besar
mufassir), dan pernah mendapatkan doa khusus dari Rasulullha Saw, dalam hal
penakwilan Alquran, memiliki banyak waktu dan kesempatan untuk terlibat secara
aktif dalam kegiatan penafsiran Alquran.
Namun, tidak berarti bahwa sahabat lain di luar Ibn Abbas tidak memiliki andil
besar (saham) bagi pengembangan tafsir Alquran. Para sahabat besar lannya,
terutama Ibn Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al- asy’ari’ dan
Abdullah bin al- Zubayr juga banyak terlibat aktif dengan aktifitas penafsiran
Alquran.
Seiring sejalan aktifitas mereka, para
sahabat lainnyapun turut serta dan terlibat aktif dalam upaya pengembangan penafsiran Alquran,
antara lain, Anas bin Malik (w.93 H/711 M) Abu Hurairah (w.85 H/704 M),
Abdullah Bin Umar (w. 73 H/692 M), Abdallah bin Amr bin al- Ash (w. 65 H/684
M), termasuk Aisyah r.a. (w. 57 H/676 M). Sayangnya, dibandingkan enam sahabat
yang telah disebutkan di awal, para sahabat yang disebutakan terakhir tidak
berkonsentrasi secara penuh kepada penafsiran Alquran karan keahlian para
sahabat tersebut kebanyakan memang bukan ahli tafsir. Misalnya, Abu Hurairah,
lebih populer dibidang hadis, sedangkan Anas bin Malik, Abdullah bin Umar,dan
Ubaidillah bin Amr bin al- Ash lebih menonjol dalam ilmu fiqh. Pun, Aisyah r.a.
ummahatul mukminin, lebih akrab
dengan dunia hukum halal-haram(fikih), khususnya bidang faraid (warisan).
Sulit dipungkiri kebenarannya bahwa para
sahabat memiliki kedudukan, peran, dan keterlibatan yang sangat istimewa dalam
pengembangan tafsir Alquran, sebagian ahli tafsir dan hadis, antara lain
Alhakim dalam karya besarnya yang berjudul al-mustadrak menyatakan bahwa
tafsir as-shahabi yang pemiliknya
(yakni para sahabat)menyaksikan secara langsung proses penurunan wahyu Alquran
menduduki derajat hadis marfu’_hadis yang sanadnya sampai kepada
Rasulullha SAW. Jadi tafsir para sahabat itu seolah-olah diriwayatkan oleh Nabi
Muhammad Saw.
Sumber tafsir Alquran yang menjadi
rujukan para sahabat adalah, Alquran, hadis, dan ijtihat para sahabat sendiri
meskipun dalam ruang lingkup yang terbatas. Penafsiran para sahabat itu
dikembangkan oleh generasi tabi’in. Berbeda dengan para sahabat yang
secara umum bermukim di Madinah, terutama pada zaman Umar bin al- Khattab, pada
masa generasi sahabat kecil dan tabi’in, tokoh-tokoh islam (termasuk para mufassir)
tersebar luas di berbagai kota Islam. Di setiap kota terkemuka seperti di
Madinah, Mekkah, Irak terdapat sejumalah mufassir ternama.
Beberapa nama mufassir yang
bermukim di Mekkah yang umumnya berguru dan belajar kepada Abdullah bin Abbas
tercatat, antara lain, Said bin Jabr (w.94 H/712 M), Mujahid bin Jabr (21-103
H/641-721 M), Ikrimah maula ibn Abbas (w.106 H/724 M), dan Atha’ ibn Abi Rabbah
al-Makky (w.114 H/723 M). Tentang mereka, Sufyan ats-Tsauri berkata: “silahkan
kalian ambil tafsir dari empat orang, yakni Said bin Jabr, Mujahid, Ikrimah,
dan ad-Dhahak”.[2]
Qatadah menyatakan bahwa ada empat orang
tabi’in yang sangat alim dibidangnya masing-masing, yaitu Atha’ bi Abi Rabah
yang lebih ahli dibidang manasik haji; Said bin Jabr yang sangat piawai
dibidang tafsir; Ikrimah yang sangat ahli dibidang sejarah; dan Hasan al-
Bashri yang sangat piawai dibidang hukum halal-haram.
Beberapa nama ahli tafsir yang bermukim di
Madinah yang dipimpin oleh Ubay bin Ka’ab, yang banyak mengajarkan tafsir
Alquran kepada tokoh-tokoh tabi’in . seperi Zaid bin Aslam (w.136 H),
Abul Aliyah (w.90 H), dan Muhammad bin Ka’ab (w. 118 H). Kmudian pada mereka
bertiga inilah para tabi’in yang lain da tabi’inat-tabi’in
belajar tafsir.
Beberapa nama ahli tasfir yang bermukim
di Kuffah yang kebanyakan merupakan murid dari Ibn Mas’ud tercatat antara lain,
an-Nakha’i (w.95 H/713 M), Alqamah bin Qais (w.102 H/720 M), dan Asya’bi (w.105
H/723 M) .
Sesudah generasi tabi’in, tafsir
Alquran pun dikembangkan oleh generasi tabi’i at-tabi’in yang oleh Ahmad
Musthafa al-Maraghidisebut sebagai periode penghimpunan tafsir sahabat dan
tabi’in. Nama-nama yang tercatat nama-nama mufassir sebagai berikut: Syu’bah
bin al-Hajjaj (w.160 H/724 M), Waki’ bin Al-Jarrah al-Kufi (w.97 H/715 M),
Sufyan bin ‘uyainah (198 H/813 M), Rauh bin Ubadah (w.205 H/820 M).
Menurut
ibn Taimiyah, sepandai- pandai ulama tabi’in dalam urusan tafsir ialah sahabat-sahabat ibn Abbas dan sahabat-
sahabat ibn Mas’ud dan ulama- ulama Madinah seperti Zaid bin Aslam dan Imam
Malik bin Anas[3].
Yang paling terkenal diantara para
tabiin, ialah: Mujahid dan Said bin Jubair.
Oleh Imam Ibnu taimiyah :oleh karna
Mujahid dipandang seorang mufassir tabi’in yang besar, berpeganglah Asy-
Syafi’i dan al- Bukhari kepadanya.
Kata An-Nawawi: Apabila kamu telah
mengetahui tafsir Mujahid, cukuplah bagimu tafsirnya itu.
“Dalam pada itu sebagian ulama tidak
menerima tafsir Mujahid, dengan alasan bahwa beliau banyak bertanya kepada
Ahlul Kitab”[4]
Ada beberapa ciri utama tafsir yang berhasil
dikembangkan pada periode tabi’in hingga awal tabi’it tabi’in,
baik yang bersifat positif maupun negatif. Nilai pofitifnya ialah bahwa mereka
mewarisi cara dan corak penafsiran para sahabat, sedangkan negatifnya sebagai
berikut;
a. Dalam hal
tertentu, tafsir Alquran telah banyak disusupi oleh kisah-kisah isra’iliyyat,
baik dari kalangan Nashrani maupun Yahudi. Pada masa itu, banyak tokoh Yahudi
dan Nasrani yang memeluk Islam, sementara pada saat yang sama, mereka masih
merasa sulit untuk meninggalkan berbagai kisah yang diwarisi dari agama
lamanya.
b. Penafsiran
Alquran yang mereka lakukan dengan sistem hafalan dan periwayatan sehingga
mengalami kesulitan dalam pengontrolan.
c. Tidak lagi
utuh seperti yang pernah dilakukan sahabat dalam periwayatan informasi yang
mereka peroleh dari Nabi Muhammad SAW. Periode inilah yang oleh syekh
Al-Maraghi disebut sebagai periode tafsir yang menghilangkan sanad.
d. Penafsiran
Alquran banyak diwarnai oleh perbedaan pendapat baik teologi maupun fikih,
terutama bidang politik yang sedikit banyak (langsung dan tidak langsung)
mempengaruhi perkembangan aliran ilmu keislaman, termasuk tafsir Alq
oke shooooob...............
BalasHapusokay bagus...trims ya
BalasHapus